Skip to main content

Pendidikan Paulo freire

Oleh IksanHb

Metodologi Rigor: Perspektif Kurrikulum

Kurikulum memainkan peranan penting dalam pendidikan di sekolah terutama sebagai kerangka acuan dalam memberikan arah terhadap pencapaian tujuan pendidikan dari tingkat nasional sapai pada tingkat interaksi di kelas. Interakasi antara guru dan siswa dalam kelas menjadi barometer dalam penentuan kesuksesan atau kegagalan sebuah kurikulum. Oleh karena itu, betapa teori-teori kurikulum lebih fokus pada isu-isu di kelas dibanding permasalahan di luar kelas.

Teori-teori kurikulum telah memperkenalkan berbagai pendekatan proses belajar-mengajar, tidak hanya mencakup isu-si yang sangat spesifik melainkan sampai pada pendekatan yang luas seperti organisasi kelas, bahkan memotivasi para siswa agar belajar. Untuk menyebut sebagaian dari pendekatan ini, kita bisa menyimak, misalnya pendekatan holistik kurikulum (Mayes, 2003 dan Miller (1999); spiritual pedagogi (Mayes, 2005). Selanjutnya pendekatan dalam memotivasi siswa untuk belajar dapat ditemukan pad gagasan Brophy (1998). Pendekatan-pendekatan kurikulum ini lebih mengedapankan aspek mentranformasi siswa melalui saluran-saluran intuisi dan mengkaiteratkan tidak hanya kepala siswa melainkan juga hati mereka. Tokoh lainnya yang sangat popular dalam lapangan ini tidak lain adalah Paulo Friere, yang gagasannya akan kita diskusikan secara singkat melalui tulisan kali ini, yaitu: kurikulum dalam kerangka prespektif pedagoki yang membebaskan.
Seperti tulisan Donaldo Macedo dalam kata sambutannya pada buku Friere, dia menggarisbawahi tentang pentingnya pesan Jean-Paul Satre akan apa yang disebut dengan orde sosial (social order), yaitu adanya “sangsi-sangsi mensengsarakan, kelaparan yang kronis, kemasabodohan, atau secara umum merupakan “subhumanity.” Dalam kaitannya dengan pendidikan, “para pendidik yang menolak untuk mentrasformasi ketidakpedulian terhadap kesengsaraan masyarakat, keadilan sosial, dan kesenjangan adalah pendidik yang hanya penjinak, yang disebut Satre dengan rasa kepedihannya sebagai ‘tidak akan menghasilkan perubahan apapun dan tidak akan memberikan pelayanan pada siapapun, melainkan hanya akan sukses dalam penemuan moral asal senang yang penuh kepalsuan’.” Kutipan dalam bahasa Inggrisnya seperti berikut: “educators who refuse to transform the ugliness of human misery, social injustice, and inequalities, invariably become educator for domestication who, as Satre so poignantly suggested, “will change nothing and will serve no one, but will succeed only in finding moral comfort in malaise.” (Freire, 1998, p. xxxii). Secara singkat gagasan pokok Freire tentang pedagogi yang membebaskan dapat di rangkum sebagai berikut.

Pendidik yang bervisi democratik akan mengedepankan pendekatan pembelajarannya pada kapasitas kritis, keingintahuan, dan otonomi siswa. Disini jelas, peranan seorang pendidik menggambarkan adanya kesan bahwa pembelajaran adalah tidak hanya menyampaikan isi (konten) melainkan juga ”berpikir yang benar”. Bagi Friere, para intelektual yang membaca berjam-jam dan berbicara hanya mengutip dari ingatannya adalah intelektual yang takut mengambil resiko dan gagal dalam menciptakan hubungan yang kongkret antara apa yang mereka baca dengan apa yang terjadi di dunia, negaranya, maupun masayrakat lokal. Mereka hanya megulang-ulang secara persis tetapi tidak mengajarkan apapun yang bersifat nilai-nilai individu. Pendidik yang demikian, hanyalah pendidik yang mewariskan dunia yang idealis, hanya sebuah data, yang terputus dari kebanyakan kehidupan masyarakat yang sebenarnya.
Proses belajar-mengajar, bersama dengan penyelidikan atau peneltian, adalah penting yang merupakan aspek yang tidak terpisahkan dari lingkaran pengetahuan kespiritualan pada keingintahuan kita, yangmana, seperti itu akan menjadi metodologi pembelajaran yang setepat-tepatnya, sebuah kemajuan yang cerdik dari apa yag disebutnya sebagai “epistemologi keingintahuan.” Menghargai siwa akan apa yang mereka tahu, adalah cara berpikir yang benar, dan ini akan menempatkan tanggungjawab pada guru dan sekolah. Pola ini tidak hanya meghargai adanya pengetahuan apa yang dia sebut sebagai “classes-knowledge socially constructed in communitarian praxis,” melainkan juga berdiskusi dengan siswa penalaran akan jenis pengetahuan dan hubungannya dengan yang diketahui mereka.

Freire menggarisbawahi perlunya proses berangkat dari keberterusterangan ke keingintahuan yang kritis, yang harus dibarengi dengan formasi etika yang tepat yang bergandengan dengan penghargaaan estitika. Praktek pengajaran kritis, termasuk cara berpikir yang benar, melibatkan suatu kedinamisan dan perubahan dialektis antara “mengerjakan” dan “menjiwai atas apa yang dikerjakan” tersebut.
Jenis pendidikan yang tidak mengakui hak mengekspresikan kemarahan yang wajar melawan ketidakadilan, melawan ketidakloyalan, melawan peniadaan rasa cinta, melawan eskploitasi, melawan kekerasan, akan gagak menemukan peranan implicit pendidikan dalam ekspresi perasaan-perasan tersebut. Freire berargumentasi bahwa pendidik harus membangun intuisi mereka dan membawakannya menjadi metode dan analisis yang tepat (rigorous) sehingga keingintahuan menjadi epistemologi. Pemikiran ini yang disebut metode rigor.

Dalam terminologi transfer ilmu, seorang guru harus memahami secara ontologi, politis, etika, epistemologi, dan teori maupun praktek ilmu pedagogi seperti jenis penjelmaan penggabungan teori dan praktek yang melibatkan siswa. Sangat menarik ketika melihat seorang anak menperagakan keingintahuuannya yang mengarah ke ilmu, keingintahuannya ketika mendengar suara mesin dalam konteks menunggu dan menyimpulkan bahwa pesawat sudah mendekat. Disini pendidikan tidak akan pernah secara murni instrumental, melainkan juga harus etikal. Seorang guru yang memutus keingintahuan siswa atas alasan efisiensi mesin ingatan, telah menghempaskan baik kebebasan maupn kapasitas siswa untuk berpetualang. Jika itu terjadi, penomena demikian bukanlah pendidikan melainkan hanya penjinakan yang hanya berbeda sedikit dengan ideologi fatal dari pemikiran neo-liberal.
Mempelajari pemikiran Friere di atas, terutama tentang perspektif kebebasan yang memberikan keleluasaan pada siswa, system-sistem kurikulum yang dikemas dalam bentuk penstandaran nampaknya tidak mendukung pemikiran ini. Namun demikian, kurikulum yang penstandaran tersebut masih dbisa dinilai cocok bila disana diupayakan untuk mengintegrasikan model pembelajaran dengan model-model pembelajaran Friere dengan pendekatan humanistik dan kemasyarakatan seperti terdapat dalam metodologi rigor. Namun perlu diingat bahwa ini hanya bisa dilakukan oleh para guru yang kompeten, yang mampu memadukan antara tuntutan subyek pelajaran melalui penyampaikan yang humanistis. Guru yang kurang matang dalam penguasaan materi pelajaran dan metode penyampaian hanya akan terjebak pada salah satu sisi, apakah di kontentnya saja dengan mengbaikan metode penyampaian, atau sebaliknya penyampaiannya saja yang bagus tanpa menguasai materi.

~~~~~~~~
References

Brophy, Jere. 1998. Motivating Students to Learn. Boston: Mc Graw Hill.
Freire, Paulo. 1998. Pedagogy of Freedom: Ethics, Democracy, and Civic Courage. Lanham: Rowman & Littlefield Publisher.

Mayes, Clifford. 2003. Seven Curricular Landscapes: An Approach to the Holistic Curriculum. Maryland: University Press of America.
Mayes, Clifford. 2005. Teaching Mysteries: Foundation of Spiritual pedagogy. Maryland: University Press of America. Miller, Ron (Ed.). 1991. New Directions in Education: Selections from Holistic


Comments

Popular posts from this blog

Pemikiran Filsafat John Dewey (Bagian 3: habis)

John Dewey dan Pendidikan Pembahasan di sini difokuskan pada John Dewey sebagai seorang pendidik, meskipun konsepsi pendidikan yang dirumuskannya sangat kental dengan pemikiran filosofisnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa pemikiran-pemikiran Dewey banyak berpengaruh pada praktek pendidikan masakini. Seiring itu pula, pemikiran-pemikiran Dewey, banyak memperoleh tanggapan pro dan kontra dari berbagai kalangan. Bagi mereka yang pro, pemikiran Dewey merupakan penyelamat pendidikan Amerika. Sebaliknya, mereka yang tidak sepakat, gagasan Dewey disebutnya sebagai lebih rusak dari gagasan Hitler.John Dewey adalah seorang filsuf dan pendidik, yang lahir tahun 1859 dan meninggal tahun 1952. Sebagai seorang filsuf, aliran filosofinya diklasifikasikan dalam kategori. Pragmatisme, meskipun Dewey sendiri lebih sering menggunakan istilah instrumentalisme dan eksperimentalisme. Menurut Garforth (1996) filosofi pragmatisme sering diarahkan sebagai filosofi konsekuensi yang menggunakan hasil atau konseku...

Konglomerasi Politik, Keseimbangan Kekuasaan dan Kedaulatan Rakyat

Oleh IksanHb Seperti yang sering saya jelaskan dalam artikel sebelumnya tentang keseimbangan kekuasaan, keseimbangan ini sangat penting dalam sebuah negara besar seperti Indonesia. Kali ini saya ingin menekankan bahwa keseimbangan politik praktis dan memiliki keseimbangan kemampuan dalam kekuasaan tidaklah cukup. Seperti yang terjadi diberbagai negara yang mempunyai cukup amunisi dan strategi dalam praktek ketata negaraan , seperti korea selatan dan beberapa negara eropa pada umumnya adalah keseimbangan kekuasaan dengan keterampilan yang tinggi sangat diperlukan untuk menjadi benteng atau bagian utama dalam keseimbangan people power dan pemerintahan yang kuat. Tanpa daya dari dalam , keterampilan, konstitusi yang kuat dan nasionalisme sebagai ruh sungguh sulit untuk dapat membuat perbedaan dalam sebuah masa dimana transisi demokrasi, politik dan kekuasaan dalam kekuatan bangsa besar yang berbineka tunggal ika. Semua unsur yang secara pralel masuk pada peringkat atau ind...

Penderitaan Rakyat Momentum Penyatuan Pergerakan Mahasiswa

Oleh : IksanHb Pergerakan solidaritas mahasiswa atas kedaulatan rakyat dalam memperjuangkan demokratisasi di Indonesia, ada dalam roh kekuatan suara rakyat. Satu filosis idiologi pergerakan rakyat adalah gerakan terorganiser lebih baik dari pada kekuatan individu yang berkuasa. Potensi yang bersumber dari riel kekuatan rakyat dan penyatuan pergerakan mahasiswa adalah sebuah kekuatan besar dalam menentukan sebuah pilihan. Gerakan mahasiswa di Indonesia adalah kegiatan kemahasiswaan yang ada di dalam maupun di luar perguruan tinggi yang dilakukan untuk meningkatkan kecakapan, intelektualitas dan kemampuan kepemimpinan para aktivis yang terlibat di dalamnya.Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, gerakan mahasiswa seringkali menjadi cikal bakal perjuangan nasional, seperti yang tampak dalam lembaran sejarah bangsa. (Wekipedia, Gerakan Mahasiswa Indonesia.) Gerakan mahasiswa diberbagai momentum dalam menciptakan sebuah perubahan dan pergantian pemimpin seperti yang terjadi di berbagai n...