Skip to main content

Air Zamzam di Senayan

Sejumlah tersangka dan saksi kasus suap Bank Indonesia ke Dewan Perwakilan Rakyat mulai buka-bukaan. Duit haram disebut-sebut tak hanya dinikmati para legislator, tapi juga ditilap pejabat bank sentral sendiri. Betulkah Paskah Suzetta tokoh kunci skandal ini?

SUATU hari menjelang akhir 2003, Panitia Kerja Amendemen Undang-Undang Bank Indonesia Dewan Perwakilan Rakyat menggelar rapat khusus di Hotel Imperial di kawasan Lippo Karawaci, Tangerang. Tiga hari penuh mereka membahas rancangan peraturan yang sudah tiga tahun tak selesai-selesai itu.

Di sela rapat, Ketua Panitia Kerja, Paskah Suzetta, berbisik kepada Hamka Yandhu, koleganya sesama anggota Dewan. ”Tolong, kasihkan ke Tjiandra Rp 500 juta,” katanya.

Tjiandra Widjaja adalah anggota parlemen Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, sedangkan Paskah dan Hamka dari Partai Golkar. Ketiganya anggota Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat. Komisi ini mitra kerja Bank Indonesia dan Departemen Keuangan di parlemen.

Mendapat perintah begitu, Hamka tak banyak tanya. Besoknya, dia sudah menghubungi stafnya, Djamilah, untuk datang ke hotel yang memang biasa jadi lokasi rapat Dewan itu.

”Tolong, tukar uang ini ke bank untuk dijadikan cek perjalanan, lalu antarkan langsung ke Pak Tjiandra Widjaja di Hotel Hilton,” kata Hamka kepada Djamilah. Dia lalu menyerahkan sebuah tas olahraga penuh gepokan duit. ”Ini nomor teleponnya. Nanti dihubungi,” kata Hamka lagi. Sorenya, sekitar pukul 15.00, perintahnya telah terlaksana.

Sepotong cerita itu adalah pengakuan Hamka Yandhu kepada penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi. Jika benar, inilah petunjuk pertama keterlibatan Paskah Suzetta—politikus senior Partai Beringin yang sejak Desember 2005 adalah Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional di kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono—dalam skandal suap Bank Indonesia.

Ketika dihubungi, Djamilah menolak berkomentar tentang insiden itu. ”Saya tidak tahu,” katanya ketus. Sedangkan Tjiandra sampai akhir pekan lalu tidak bisa dihubungi. Telepon genggam yang biasa dipakainya tak aktif.

Sesungguhnya, kisah kucuran dana setengah miliar rupiah ini hanya satu babak dari kongsi gelap antara Bank Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat. Tak kurang dari Rp 31,5 miliar dana bank sentral mengalir ke parlemen pada 2003. Setelah lima tahun berlalu, satu demi satu, bagian cerita yang sudah lama dikubur kini muncul kembali. Sedikit demi sedikit, wajah sang dalang suap di Senayan pun tersingkap.

l l l

AWAL 2003 adalah masa yang krusial bagi Bank Indonesia. Mei tahun itu, kursi Gubernur Bank Indonesia berpindah tangan, dari Syahril Sabirin ke Burhanuddin Abdullah. Sang pejabat baru mewarisi bank sentral yang amburadul. Citranya terpuruk, manajemennya bermasalah, dan yang paling parah, audit keuangannya selalu berpredikat buruk: disclaimer.

Nilai merah itu tentu ada dasarnya. Bank Indonesia menanggung beban pengucuran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia pada krisis moneter 1997-1998 sebesar Rp 144,5 triliun. ”Dengan kondisi itu, Bank Indonesia tidak bisa menerbitkan obligasi dan tidak bisa mendapat pinjaman di luar negeri,” kata Deputi Gubernur Bank Indonesia saat itu, Aulia Pohan, dalam sebuah kesempatan.

Sejak 2001, Bank Indonesia berusaha keras memindahkan beban itu ke pemerintah. Alasan mereka, kebijakan Bantuan Likuiditas adalah tanggung jawab eksekutif. Ketika krisis, Bank Indonesia memang masih ada di bawah ketiak Dewan Moneter bentukan Presiden Soeharto.

Departemen Keuangan sebenarnya oke-oke saja diminta menanggung beban Bantuan Likuiditas. Tapi ada syarat: pengalihan beban itu harus disetujui Dewan Perwakilan Rakyat. Untuk memutuskan isu pelik inilah, parlemen lalu membentuk Panitia Kerja Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Paskah Suzetta salah satu anggotanya.

Sumber Tempo bercerita bagaimana kerasnya usaha Bank Indonesia meyakinkan parlemen untuk ”membersihkan” neraca keuangan bank sentral dari noda Bantuan Likuiditas. Mereka bahkan sempat mengundang Paul Volcker, mantan gubernur bank sentral Amerika Serikat, untuk memberikan pendapat.

Pada awal Juli 2003, Dewan akhirnya mengetukkan palu: beban Bantuan Likuiditas boleh dialihkan ke pemerintah. Dalam satu bulan, Departemen Keuangan harus menerbitkan surat utang baru dan mencicil pengembalian Bantuan Likuiditas. Bank Indonesia di atas angin.

Namun, lolos dari lubang Bantuan Likuiditas bukan berarti akhir gerilya Bank Indonesia. Ada satu lagi ancaman buat mereka. Pada November 2000, parlemen mulai membahas usul perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Sejak awal, bank sentral mati-matian menghalangi amendemen itu. Saking alotnya, tiga tahun lebih pembahasan amendemen ini maju-mundur tak kelar-kelar.

Ada sedikitnya dua pasal dalam rancangan itu yang ditolak Bank Indonesia: pembentukan Otoritas Jasa Keuangan untuk mengambil alih fungsi bank sentral di bidang pengawasan perbankan, dan pembentukan Badan Supervisi.

Pada September 2003, Paskah Suzetta—saat itu Ketua Panitia Kerja Amendemen UU Bank Indonesia—muncul dengan rumusan baru. Menurut dia, pembentukan Otoritas Jasa Keuangan harus diberi batas waktu ”secepat-cepatnya 31 Desember 2008”. Pemerintah—yang ketika itu diwakili Menteri Keuangan Boediono—menolak. Seandainya rumusan itu gol, pembentukan Otoritas Jasa Keuangan bisa diundur-undur sampai akhir zaman. Ketika pemerintah terus ngotot menolak, Paskah—seperti ramai dikutip wartawan—berkomentar, ”Pembahasan amendemen ini terancam deadlock.”

Yang menarik, dalam pembahasan hampir semua pasal, posisi Panitia Kerja DPR selalu ada di pihak Bank Indonesia. Suara Bank Indonesia dalam setiap sesi pembahasan pun begitu dominan. Padahal lazimnya hanya wakil pemerintah yang boleh punya suara dalam pembahasan beleid di parlemen.

Akibat pembahasan yang berlarut-larut, baru tiga bulan kemudian, amendemen UU Bank Indonesia disahkan. Kompromi kabarnya tercapai setelah para ketua partai politik turun tangan.

l l l

KOMPAKNYA Bank Indonesia dan Komisi Perbankan parlemen selama 2003 itu tidak terbangun dalam semalam. Sumber Tempo berkisah bagaimana para politikus Senayan tak segan melontarkan ”kalimat bersayap” kepada pejabat Bank Indonesia dalam setiap rapat kerja selama masa-masa genting itu.

Sindiran halus seperti ”Mana nih air zamzamnya?” atau ”Ini ada ongkosnya lho” bolak balik dilontarkan para anggota Dewan kepada pejabat Bank Indonesia. Meski diucapkan dengan nada setengah bercanda, sulit untuk tak mengatakan itu adalah permintaan yang serius.

Sampai di luar parlemen pun, desakan semacam itu terlontar. Pada awal 2003, misalnya, Danial Tandjung, politikus Partai Persatuan Pembangunan, yang ketika itu juga anggota Komisi Keuangan dan Perbankan, sempat bertemu Aulia Pohan di Masjid At-Taqwa di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Setelah berbasa-basi sejenak, Danial memberikan nasihat tentang penyelesaian beban Bantuan Likuiditas, ”Kalau mau tuntas, itu ada biayanya, karena anggaran DPR tidak mencukupi.” Kepada Tempo pekan lalu, Danial membantah pernah melontarkan nasihat itu.

Dengan latar belakang semacam inilah, rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia, pada 3 Juni 2003, digelar. ”Usul teman-teman, untuk menyelesaikan masalah ini membutuhkan biaya lumayan besar,” kata Aulia. Burhanuddin Abdullah setuju. Sebuah rencana besar lalu disusun untuk ”mendekati” parlemen. Tujuannya mengamankan posisi Bank Indonesia. Untuk menggerakkan program itu, Bank Indonesia menyediakan dana Rp 100 miliar, yang diambilkan dari kas Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia. Dari sinilah skandal bermula.

Rapat Dewan Gubernur berikutnya, 22 Juli 2003, memutuskan membentuk ”Panitia Pengembangan Sosial Kemasyarakatan” sebagai pelaksana program. Sebagai ketua, ditunjuk Kepala Biro Gubernur Bank Indonesia, Rusli Simandjuntak, dengan wakilnya, Oey Hoey Tiong, yang saat itu Deputi Direktur Direktorat Hukum Bank Indonesia. Koordinator panitia: Aulia Pohan. ”Saya hanya menjalankan perintah Gubernur Bank Indonesia,” kata Aulia beberapa waktu lalu.

Sejak saat itulah, Rusli jadi ujung tombak lobi Bank Indonesia ke Dewan. Komisi Perbankan juga menunjuk satu petugas penghubung: Anthony Zeidra Abidin. Nama Anthony, menurut pengakuan Aulia Pohan kepada penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Februari lalu, disetujui Paskah Suzetta. Tapi belakangan Aulia membantah keterangannya.

l l l

SALAH satu kegiatan parlemen yang didanai Bank Indonesia adalah studi banding ke New York, Amerika Serikat, sekitar Agustus 2003. Perjalanan itu diikuti dua fraksi terbesar: Fraksi PDI Perjuangan yang diwakili Max Moein dan Dudhie Makmun Murod serta Fraksi Partai Golkar yang diwakili Anthony Zeidra Abidin dan Hamka Yandhu. Mereka berempat ditemani istri masing-masing. Max ketika itu adalah Ketua Komisi Perbankan, sedangkan Dudhie Ketua Panitia Khusus Amendemen Undang-Undang Bank Indonesia.

Resminya, studi banding ini bertujuan mempelajari fungsi supervisi dan sistem bank sentral Amerika Serikat. ”Jadwalnya padat,” kata Max Moein pekan lalu. Pengakuan berbeda datang dari Hamka Yandhu. Menurut dia, acara pokok sebenarnya hanya satu jam. Selebihnya, mereka berwisata ke Patung Liberty, Gedung Putih, dan tempat wisata lain.

Ketika berdiskusi di bank sentral Amerika—US Federal Reserve—rombongan Dewan itu ditemani Deputi Gubernur Bank Indonesia Aulia Pohan. Malamnya, mereka dinner di sebuah restoran Cina di Broadway, New York. ”Kami bicara yang ringan-ringan saja,” kata Aulia kepada penyidik komisi antikorupsi. Setelah makan, mereka beramai-ramai menonton opera. ”Saya lupa apa judulnya,” kata Max Moein tertawa. ”Tiket Broadway tidak mahal, dan kita ada uang saku. Ya, kita nonton.”

Sepulang dari perjalanan itu, hubungan antara panitia Bank Indonesia (Rusli Simandjuntak dkk.) dan para anggota Komisi Perbankan membaik. Sumber Tempo berujar, Rusli tak pernah lagi mengeluh tentang buruknya komunikasi dengan parlemen.

Kuasa hukum Rusli, O.C. Kaligis, menolak berkomentar tentang pertemuan New York ini. ”Soal itu tak ada dalam dakwaan jaksa,” katanya singkat. Semua tindakan Rusli, menurut Kaligis, hanya menjalankan tugas dari atasan.

l l l

SELAIN dalam bentuk studi banding, duit Bank Indonesia juga dibagi-bagi dalam bentuk tunai. Pengakuan tentang hal ini datang dari Hamka Yandhu. Dia bercerita bagaimana dia selalu ditelepon Anthony setiap kali Rusli Simandjuntak datang ke rumah Anthony untuk menyerahkan fulus dari Bank Indonesia. Menurut Hamka, dia selalu melapor ke Paskah Suzetta. ”Kalau Paskah mengatakan ’datang saja’, baru saya datang,” katanya. Tapi, melalui seorang kerabatnya, Anthony membantah pertemuan di kediamannya itu. ”Saya ketika itu sedang di luar negeri. Silakan cek paspor saya,” katanya.

Sayang, Paskah menolak berkomentar tentang tudingan itu. Berjanji menemui Tempo di Hotel Park Lane, Jakarta, Jumat pekan lalu, yang dikirimnya hanya dua orang utusan. Melalui staf khususnya ini ia menitipkan pesan, ”Saya tidak akan memberikan komentar. Saya tidak ingin memindahkan ruang sidang pengadilan ke halaman media.”

Wahyu Dhyatmika, Toriq Hadad, Rina Widiastuti, Sahala Lumbanraja, Iqbal Muhtarom


Sumber: Tempo Majalah Berita Mingguan Edisi Online 20/XXXVII/07 - 13 Juli 2008







Comments

Popular posts from this blog

Pemikiran Filsafat John Dewey (Bagian 3: habis)

John Dewey dan Pendidikan Pembahasan di sini difokuskan pada John Dewey sebagai seorang pendidik, meskipun konsepsi pendidikan yang dirumuskannya sangat kental dengan pemikiran filosofisnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa pemikiran-pemikiran Dewey banyak berpengaruh pada praktek pendidikan masakini. Seiring itu pula, pemikiran-pemikiran Dewey, banyak memperoleh tanggapan pro dan kontra dari berbagai kalangan. Bagi mereka yang pro, pemikiran Dewey merupakan penyelamat pendidikan Amerika. Sebaliknya, mereka yang tidak sepakat, gagasan Dewey disebutnya sebagai lebih rusak dari gagasan Hitler.John Dewey adalah seorang filsuf dan pendidik, yang lahir tahun 1859 dan meninggal tahun 1952. Sebagai seorang filsuf, aliran filosofinya diklasifikasikan dalam kategori. Pragmatisme, meskipun Dewey sendiri lebih sering menggunakan istilah instrumentalisme dan eksperimentalisme. Menurut Garforth (1996) filosofi pragmatisme sering diarahkan sebagai filosofi konsekuensi yang menggunakan hasil atau konseku...

Konglomerasi Politik, Keseimbangan Kekuasaan dan Kedaulatan Rakyat

Oleh IksanHb Seperti yang sering saya jelaskan dalam artikel sebelumnya tentang keseimbangan kekuasaan, keseimbangan ini sangat penting dalam sebuah negara besar seperti Indonesia. Kali ini saya ingin menekankan bahwa keseimbangan politik praktis dan memiliki keseimbangan kemampuan dalam kekuasaan tidaklah cukup. Seperti yang terjadi diberbagai negara yang mempunyai cukup amunisi dan strategi dalam praktek ketata negaraan , seperti korea selatan dan beberapa negara eropa pada umumnya adalah keseimbangan kekuasaan dengan keterampilan yang tinggi sangat diperlukan untuk menjadi benteng atau bagian utama dalam keseimbangan people power dan pemerintahan yang kuat. Tanpa daya dari dalam , keterampilan, konstitusi yang kuat dan nasionalisme sebagai ruh sungguh sulit untuk dapat membuat perbedaan dalam sebuah masa dimana transisi demokrasi, politik dan kekuasaan dalam kekuatan bangsa besar yang berbineka tunggal ika. Semua unsur yang secara pralel masuk pada peringkat atau ind...

Penderitaan Rakyat Momentum Penyatuan Pergerakan Mahasiswa

Oleh : IksanHb Pergerakan solidaritas mahasiswa atas kedaulatan rakyat dalam memperjuangkan demokratisasi di Indonesia, ada dalam roh kekuatan suara rakyat. Satu filosis idiologi pergerakan rakyat adalah gerakan terorganiser lebih baik dari pada kekuatan individu yang berkuasa. Potensi yang bersumber dari riel kekuatan rakyat dan penyatuan pergerakan mahasiswa adalah sebuah kekuatan besar dalam menentukan sebuah pilihan. Gerakan mahasiswa di Indonesia adalah kegiatan kemahasiswaan yang ada di dalam maupun di luar perguruan tinggi yang dilakukan untuk meningkatkan kecakapan, intelektualitas dan kemampuan kepemimpinan para aktivis yang terlibat di dalamnya.Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, gerakan mahasiswa seringkali menjadi cikal bakal perjuangan nasional, seperti yang tampak dalam lembaran sejarah bangsa. (Wekipedia, Gerakan Mahasiswa Indonesia.) Gerakan mahasiswa diberbagai momentum dalam menciptakan sebuah perubahan dan pergantian pemimpin seperti yang terjadi di berbagai n...