Oleh: IksanHb
Kekerasan yang terjadi pada akhir-akhir ini tidak terlepas dari peristiwa kekerasan masalalu terhadap warga negara yang berafiliasi dengan partai komunis, meskipun itu terjadi perbedaan bentuk dan situasinya. Tabu dan penuh kehawatiran dalam diskusi-diskusi terbuka tentang peristiwa yang mengerikan itu, telah membuat masyarakat Indonesia dihantui akan kembalinya kekerasan yang mengerikan itu, terjadi pada massa transisi demokrasi Indonesia saat ini. Secara sosiologi kekerasan massa, 1965-1966 telah menjadi catatan sejarah kekerasan dan masih adanya pembelengguan para korban dan keluarganya atas hak-hak asasinya sebagai warga negara. Itu terlihat masih seringnya adanya diskriminasi dalam proses administratif maupun psikis terhadap keluarga dan keturunannya PKI.
Apa yang terjadi setelah tergulingnya rezim Soeharto, kelompok-kelompok yang mengusulkan pembongkaran bukti-bukti pembunuhan massal diancam dengan kekerasan. Bahkan media massa yang telah menikmati adanya kebebasan pers yang mulai muncul sejak bulan Mei 1998 juga takut untuk mengangkat masalah ini. Bukan hanya pada saat soeharto berkuasa, saat ini pula dimana system pemerintahan yang cukup demokratis setelah jatuhnya SOEHARTO, masih terdapat ancaman yang dialamatkan kepada aktifis hak asasi manusia dan pro demokrasi.
Ketakutan yang paling dalam masih menyelimuti para keluarga korban kekerasan baik yang terjadi tahun 1965-1966 -dikenal G30S PKI, kekersan terjadi 1998, pembantaian terhadap tokoh agama dengan kedok dukun santet sebagian besar diwilayah banyuangi (Jawa Timur) dan peristiwa pembunuhan dan pengusiran terhadap suku Madura di Kalimantan dll. Secara realitas bahwa pergolakan dan kekerasan yang banyak terjadi dan jatuhnya korban tersebut merupakan alasan paling kuat untuk mendukung pandangan bahwa Indonesia merupakan budaya yang terpisah dengan keasliannya menjadi wajah penuh kekerasan. Benarkah apa yang terjadi kekerasan tahun 1965-1966 menunjukkan adanya peran penting yang dilakukan oleh militer Indonesia dalam mengijinkan dan mendukung pembunuhan terhadap kaum komunis dan atau peristiwa lain seperti kasus Talangsari, dukun santet dll? Sejarah yang akan membuktikan.
Ada pula kesejajaran (paralelitas) yang mengejutkan dan menghawatirkan antara masalah-masalah ekonomi dan politik yang dihadapi Indonesia pada tahun 1965-1966 dan dengan jatuhnya Soeharto 1998 yang berakhir dengan kerusuhan dan kekerasan terhadap etnis tertentu, karena itu kekerasan tahun 1998 membenarkan kehawatiran itu. Meskipun paralelitasnya berbeda waktu dan sedikit berbeda agenda isunya yang dibawa, peristiwa kekerasan itu menjadi kenyataan dengan rentetan peristiwa kekersan saat akan tergulingnya Soeharto maupun sesudah jatuhnya Soeharto. Peristiwa kekerasan ini sampai sekarang masih terjadi sebagaimana kekerasan yang terjadi pada Ahmadiyah. Anehnya disaat proses demokrasi kita sedang berjalan, kekerasan malah semakin menghawatirkan apa lagi menyangkut masalah yang berbau agama , kekerasan yang menggunakan lebel agama sama seperti saat pembantaian PKI yang salah satu isunya adalah agama dan politik. Dimana yang beragama menyerang yang tidak beragama dan secara poltik PKI dianggap melakukan pemberontakan.
Pemandangan kekerasan yang terorganisir saat ini menjadi tantangan dan ujian pemerintahan SBY-JK , karena kekerasan yang di alami warga Ahmadiyah baik kekersan fisik maupun psikis masih sangat menghawatirkan bahkan menjadi bom waktu bagi kelompok yang lain. Secara parallel peristiwa kekerasan yang terjadi dari waktu kewaktu , dari setiap pergantian kekuasaan menjadikan warna trauma anak suku bangsa yang terseret kedalam tumbal politik kekuasaan.
Hari ini, sebagaimana pada tahun 1965-1966, Peristiwa Malari - Malapetaka 15 Januari 1974 dan gerakan reformasi 1998, faktor-faktor ekonomi yang meliputi naiknya harga-harga kebutuhan pokok (sembako) dan sangat tingginya angka pengangguran, angka rakyat miskin semakin tinggi, gesekan antar kelompok sosial (stratifikasi sosial) telah mengancam kehidupan kerukunan antar kelompok masyarakat dan ummat beragama, kesenjangan semakin tajam akan mengancam kaum miskin dan keamanan ekonomi dari kelas menengah. Lebih jauh lagi, 10 tahun semenjak jatuhnya Suharto, mulai meluas perasaan sinis mengenai prospek reformasi politik dan hukum yang akan membawa ke tatanan pemerintahan yang lebih demokratis, pertanggungjawaban ekonomi, dan pembagian kemakmuran yang lebih adil. Para pemimpin politik telah menunjukkan ketidakbecusan dalam mengatasi persoalan-persoalan ekonomi yang dihadapi Indonesia seperti kenaikan harga sembako dan naikknya harga BBM dan juga konflik-konflik horizontal (tawuran antar warga) dan kriminalitas lainnya. Peraktek pengadilan warisan dari rezim Orde Baru yaitu banyaknya dugaan kolusi (kong kalikong) yang melibatkan Jaksa Agung maupun MA dengan tersangka- terdakwa dalam menyelesaikan perkara.
Mobilisasi massa oleh partai-partai politik dalam rangka persiapan untuk Pemilu tahun 2009 dan munculnya ormas-ormas yang sering menggunakan kekersan dapat menciptakan tahapan untuk terjadinya konflik-konflik yang terpolarisasi sepanjang garis-garis ideologis dan kesukuan.
Proses demokratisasi seperti saat ini merupakan suatu proses transisi politik, yang bergolak pasti hampir selalu melibatkan upaya-upaya dari elit-elit yang bertikai, untuk memobilisasi kelompo-kelompok tertentu dari masyarakat. Dalam situasi seperti itu, terasa sangat mehnghawatirkan bagi proses demokrasi, dan tegaknya konstitusi. Konstitusi negara yang berlawanan dengan kekerasan menjadi persoalan yang sangat serius, faktanya penafsiran konstitusi sering diartikan sempit dan kadang digunakan untuk mencari keuntungan kelompoknya.
Kepentingan kekuasaan sering kali, konstitusi negara menjadi nomor dua setelah ada posisi tawar yang menguntungkan posisinya, maka dari itu akan sangat mungkin partai-partai politik dan organisasi-organisasi sayap politik mencoba deal untuk memperkokoh posisi mereka di dalam konfigurasi politik. Momentum akan terjadinya pergantian kekuasaan melalui pemilu Presiden II setelah tergulingnya Soeharto, yang akan diselenggarakan pada tahun 2009 dimana dipilih secara langsung oleh rakyat, banyak dari parta-partai maupun pemerintah yang masih berkuasa berlomba-lomba untuk mendapatkan simpati dukungan dari peserta pemilu dengan berbagai cara dilakukan , termasuk kemungkinan menggunakan managemen konflik.
Ketakutan masyarakat terhdap adanya kekerasan yang meluas saat ini tidaklah mungkin untuk dibantah dan ditutup-tutupi. Kalau kita lihat kekerasan tersebut muncul karena adanya berbagai macam alasan dan kepentingan, seperti kegagalan pemerintah dalam menegakkan konstitusi dan lemahnya ekonomi, dan juga lemahnya lembaga-lembaga politik dan hukum untuk turut serta dalam kampanye -menyediakan ruang publik bagi penyelesaian konflik (resolusi konflik), terputusnya hubungan konstituen dengan partai karena ketidak percayaannya terhadap wakilnya di parlemen.
Membangun kembali rasa aman terhadap masyarakat harus menjadi agenda utama bagi semua pihak, khususnya peran pemerintah sangat diperlukan terlebih dalam hal menyangkit jaminan keamanan bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa memandang warna kulit, suku, agama dll. Jaminan keamanan tidak bisa dijual belikan (diperdagangkan) dan dipolitiser, tidak adalagi bicara politik untuk kepentingan pribadi dan golongan.
Resep menjadi negara yang kuat, makmur dan demokratis
Untuk menjaga NKRI dan menjadi negara yang kuat dan dihormati negara lain adalah yang
pertama menegakkan kedaulatan hukum - menegakkan supremasi hukum (rule of law), kedua tidak ada konspirasi dan propaganda ntuk melawan konstitusi UUD 45, karena UUD 45 adalah suatu petunjuk sangat fundamental dan memberi jaminan adanya kebebasan berserikat, berfikir, berpendapat dan berkeyakinan. Ketiga menjaga sumber daya alam dan menjaga kedaulatan energy (energy independent), keempat menjaga dan mengembangkan seni-budaya nasional, dan kelima membumikan dan mengembangkan pendidikan multikultural.
Kekerasan yang terjadi pada akhir-akhir ini tidak terlepas dari peristiwa kekerasan masalalu terhadap warga negara yang berafiliasi dengan partai komunis, meskipun itu terjadi perbedaan bentuk dan situasinya. Tabu dan penuh kehawatiran dalam diskusi-diskusi terbuka tentang peristiwa yang mengerikan itu, telah membuat masyarakat Indonesia dihantui akan kembalinya kekerasan yang mengerikan itu, terjadi pada massa transisi demokrasi Indonesia saat ini. Secara sosiologi kekerasan massa, 1965-1966 telah menjadi catatan sejarah kekerasan dan masih adanya pembelengguan para korban dan keluarganya atas hak-hak asasinya sebagai warga negara. Itu terlihat masih seringnya adanya diskriminasi dalam proses administratif maupun psikis terhadap keluarga dan keturunannya PKI.
Apa yang terjadi setelah tergulingnya rezim Soeharto, kelompok-kelompok yang mengusulkan pembongkaran bukti-bukti pembunuhan massal diancam dengan kekerasan. Bahkan media massa yang telah menikmati adanya kebebasan pers yang mulai muncul sejak bulan Mei 1998 juga takut untuk mengangkat masalah ini. Bukan hanya pada saat soeharto berkuasa, saat ini pula dimana system pemerintahan yang cukup demokratis setelah jatuhnya SOEHARTO, masih terdapat ancaman yang dialamatkan kepada aktifis hak asasi manusia dan pro demokrasi.
Ketakutan yang paling dalam masih menyelimuti para keluarga korban kekerasan baik yang terjadi tahun 1965-1966 -dikenal G30S PKI, kekersan terjadi 1998, pembantaian terhadap tokoh agama dengan kedok dukun santet sebagian besar diwilayah banyuangi (Jawa Timur) dan peristiwa pembunuhan dan pengusiran terhadap suku Madura di Kalimantan dll. Secara realitas bahwa pergolakan dan kekerasan yang banyak terjadi dan jatuhnya korban tersebut merupakan alasan paling kuat untuk mendukung pandangan bahwa Indonesia merupakan budaya yang terpisah dengan keasliannya menjadi wajah penuh kekerasan. Benarkah apa yang terjadi kekerasan tahun 1965-1966 menunjukkan adanya peran penting yang dilakukan oleh militer Indonesia dalam mengijinkan dan mendukung pembunuhan terhadap kaum komunis dan atau peristiwa lain seperti kasus Talangsari, dukun santet dll? Sejarah yang akan membuktikan.
Ada pula kesejajaran (paralelitas) yang mengejutkan dan menghawatirkan antara masalah-masalah ekonomi dan politik yang dihadapi Indonesia pada tahun 1965-1966 dan dengan jatuhnya Soeharto 1998 yang berakhir dengan kerusuhan dan kekerasan terhadap etnis tertentu, karena itu kekerasan tahun 1998 membenarkan kehawatiran itu. Meskipun paralelitasnya berbeda waktu dan sedikit berbeda agenda isunya yang dibawa, peristiwa kekerasan itu menjadi kenyataan dengan rentetan peristiwa kekersan saat akan tergulingnya Soeharto maupun sesudah jatuhnya Soeharto. Peristiwa kekerasan ini sampai sekarang masih terjadi sebagaimana kekerasan yang terjadi pada Ahmadiyah. Anehnya disaat proses demokrasi kita sedang berjalan, kekerasan malah semakin menghawatirkan apa lagi menyangkut masalah yang berbau agama , kekerasan yang menggunakan lebel agama sama seperti saat pembantaian PKI yang salah satu isunya adalah agama dan politik. Dimana yang beragama menyerang yang tidak beragama dan secara poltik PKI dianggap melakukan pemberontakan.
Pemandangan kekerasan yang terorganisir saat ini menjadi tantangan dan ujian pemerintahan SBY-JK , karena kekerasan yang di alami warga Ahmadiyah baik kekersan fisik maupun psikis masih sangat menghawatirkan bahkan menjadi bom waktu bagi kelompok yang lain. Secara parallel peristiwa kekerasan yang terjadi dari waktu kewaktu , dari setiap pergantian kekuasaan menjadikan warna trauma anak suku bangsa yang terseret kedalam tumbal politik kekuasaan.
Hari ini, sebagaimana pada tahun 1965-1966, Peristiwa Malari - Malapetaka 15 Januari 1974 dan gerakan reformasi 1998, faktor-faktor ekonomi yang meliputi naiknya harga-harga kebutuhan pokok (sembako) dan sangat tingginya angka pengangguran, angka rakyat miskin semakin tinggi, gesekan antar kelompok sosial (stratifikasi sosial) telah mengancam kehidupan kerukunan antar kelompok masyarakat dan ummat beragama, kesenjangan semakin tajam akan mengancam kaum miskin dan keamanan ekonomi dari kelas menengah. Lebih jauh lagi, 10 tahun semenjak jatuhnya Suharto, mulai meluas perasaan sinis mengenai prospek reformasi politik dan hukum yang akan membawa ke tatanan pemerintahan yang lebih demokratis, pertanggungjawaban ekonomi, dan pembagian kemakmuran yang lebih adil. Para pemimpin politik telah menunjukkan ketidakbecusan dalam mengatasi persoalan-persoalan ekonomi yang dihadapi Indonesia seperti kenaikan harga sembako dan naikknya harga BBM dan juga konflik-konflik horizontal (tawuran antar warga) dan kriminalitas lainnya. Peraktek pengadilan warisan dari rezim Orde Baru yaitu banyaknya dugaan kolusi (kong kalikong) yang melibatkan Jaksa Agung maupun MA dengan tersangka- terdakwa dalam menyelesaikan perkara.
Mobilisasi massa oleh partai-partai politik dalam rangka persiapan untuk Pemilu tahun 2009 dan munculnya ormas-ormas yang sering menggunakan kekersan dapat menciptakan tahapan untuk terjadinya konflik-konflik yang terpolarisasi sepanjang garis-garis ideologis dan kesukuan.
Proses demokratisasi seperti saat ini merupakan suatu proses transisi politik, yang bergolak pasti hampir selalu melibatkan upaya-upaya dari elit-elit yang bertikai, untuk memobilisasi kelompo-kelompok tertentu dari masyarakat. Dalam situasi seperti itu, terasa sangat mehnghawatirkan bagi proses demokrasi, dan tegaknya konstitusi. Konstitusi negara yang berlawanan dengan kekerasan menjadi persoalan yang sangat serius, faktanya penafsiran konstitusi sering diartikan sempit dan kadang digunakan untuk mencari keuntungan kelompoknya.
Kepentingan kekuasaan sering kali, konstitusi negara menjadi nomor dua setelah ada posisi tawar yang menguntungkan posisinya, maka dari itu akan sangat mungkin partai-partai politik dan organisasi-organisasi sayap politik mencoba deal untuk memperkokoh posisi mereka di dalam konfigurasi politik. Momentum akan terjadinya pergantian kekuasaan melalui pemilu Presiden II setelah tergulingnya Soeharto, yang akan diselenggarakan pada tahun 2009 dimana dipilih secara langsung oleh rakyat, banyak dari parta-partai maupun pemerintah yang masih berkuasa berlomba-lomba untuk mendapatkan simpati dukungan dari peserta pemilu dengan berbagai cara dilakukan , termasuk kemungkinan menggunakan managemen konflik.
Ketakutan masyarakat terhdap adanya kekerasan yang meluas saat ini tidaklah mungkin untuk dibantah dan ditutup-tutupi. Kalau kita lihat kekerasan tersebut muncul karena adanya berbagai macam alasan dan kepentingan, seperti kegagalan pemerintah dalam menegakkan konstitusi dan lemahnya ekonomi, dan juga lemahnya lembaga-lembaga politik dan hukum untuk turut serta dalam kampanye -menyediakan ruang publik bagi penyelesaian konflik (resolusi konflik), terputusnya hubungan konstituen dengan partai karena ketidak percayaannya terhadap wakilnya di parlemen.
Membangun kembali rasa aman terhadap masyarakat harus menjadi agenda utama bagi semua pihak, khususnya peran pemerintah sangat diperlukan terlebih dalam hal menyangkit jaminan keamanan bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa memandang warna kulit, suku, agama dll. Jaminan keamanan tidak bisa dijual belikan (diperdagangkan) dan dipolitiser, tidak adalagi bicara politik untuk kepentingan pribadi dan golongan.
Resep menjadi negara yang kuat, makmur dan demokratis
Untuk menjaga NKRI dan menjadi negara yang kuat dan dihormati negara lain adalah yang
pertama menegakkan kedaulatan hukum - menegakkan supremasi hukum (rule of law), kedua tidak ada konspirasi dan propaganda ntuk melawan konstitusi UUD 45, karena UUD 45 adalah suatu petunjuk sangat fundamental dan memberi jaminan adanya kebebasan berserikat, berfikir, berpendapat dan berkeyakinan. Ketiga menjaga sumber daya alam dan menjaga kedaulatan energy (energy independent), keempat menjaga dan mengembangkan seni-budaya nasional, dan kelima membumikan dan mengembangkan pendidikan multikultural.
Comments