Perjalanan ibadah tidak selalu mendapatkan berkah, tapi kadang justru cobaan yang datang. Kadang-kadang orang kampung mengatakan borokah dan berkat satu paket dalam kegiatan keagamaan. Kalau berkat biasanya juga berupa paket makanan yang didapat dari hasil kegiataan keagamaan, sedangkan barokah merupakan kebahagiaan yang mungkin bisa dirasakan secara langsung maupun tidak. Yang menjadi menarik ketika kita menyaksikan berita yang menyebutkan bahwa Wakil Presiden Yusuf Kalla melawat ke Arab Saudi beserta rombongannya menjalankan ibadah umroh. Kemudian diakhir lawatannya ketanah suci, “Yusuf Kalla beserta rombongan deportan (orang yang di deportasi) 362 satu pesawat menuju tanah air”. ( sumber detik.com 25 Janunari 2008).
Dan tentu kejadian ini menjadi satu perisrtiwa yang lagka di negeri ini, dimana para deportan satu pesawat dengan kepala negara.
Kesediaan Wakil Presiden untuk membawa pulang para deportan adalah suatu tindakan yang positif akan tetapi di sisi lain kalau kita cermati, ada suatu pesan yang mendalam dalam peristiwa ini. Pertama, pesan politik, bahwa Yusuf Kalla secara kepaa pemerintahan dengan lapang dada bersedia membawa pulang rakyaknya yang dianggap illegal oleh negara lain. Dari sisi ini Yusuf Kalla bisa dinilai bagus. Kedua, lemahnya ekonomi Indonesia, kenapa, karena para deportan itu secara ekonomi adalah orang ingin tetap bekerja atau tinggal di negara lain tanpa prosedur yang diparsyaratkan. Ini artinya, karena secara ekonomi, orang-orang tersebut lebih diuntungkan tinggal di negara lain dibandingkan tetap di Indonesia. Karena apa, karena ekonomi kita memang lemah. Di lain pihak, banjirnya jumlah haji dan umroh ke Arab Saudi dari Indonesia, memberikan sumbangan ekonomi yang luar biasa pada Arab Saudi tiap tahun dan itu sangat tidak seimbang dengan kontribusi Arab Saudi ke Indonesia secara ekonomi. Karena apa, Arab Saudi hanya mengimpor tenaga kerja tingakt rendah yang seringkali malah berbuntut kekerasan tanpa perlindungan yang memadai. Dalam hal ini hubungan Indonesia – Arab Saudi yang notabene dekat secara spiritual, sangat ironi memang. Ketiga adalah moral kemanusiaan, banyaknya kasus TKI yang dihukum mati, perkosaan, dan lain-lainnya membuat haru, miris, dan bergetar bagi siapa saja yang menghargai bahwa manusia itu sama dihadapan Tuhan. Betapa tidak, fenomena pembantu bagi masyarakat Indonesia sangatlah umum, karena hampir tiap keluarga menengah di Indonesia pasti memiliki pembantu. Dari banyaknya pembantu yang bekerja di kelaurga tanah air, hampir pasti jarang ada persoalan yang serius, coba bandingkan mereka yang bekerja di Arab Saudi, hampir setiap saat kita dikagetkan akan berita, pemerkosaan, hukum mati, atau lain-lainnya, yang secara manusiawi membuat hati kita tersentak, bergetar, dan haru. Akankan semua itu akan berakhir, jawabannya “ya” segera setelah ekonomi kita baik, pemerintah mengelola negara ini dengan baik, membuka lapanga kerja yang luas, sehingga rakyak bisa memanuhi kebutuhan keluarganya dengan bekerja di negara sendiri. Sebaliknya kondisi tersebut tidak akan berakhir, kalau pemerintah mengelola negara masih seperti sekarang ini, banyak korupsi, berfocus pada diri sendiri atau kelompok kecil lingkungan sendiri, DPR yang tidak berfungsi dengan semestinya dalam membela rakyat.
Naik Haji Sebuah Kritik SosialIbadah haji sudah menjadi suatu kewajiban bagi umat Islam, akan tetapi seringkali substansi dari ibadah haji tersebut belum dijiwai secara menyeluruh, terutama dari segi pemenuhan kebutuhan personal dan sosial. Seringkali yang ada ibadah haji baru sebatas pemenuhan kebutuhan personal yaitu bentuk vertikalnya saja. Kebutuhan sosial sebagai bentuk horisontal kehidupan, masih sangat kecil dipertimabanglankan. Yang menarik adalah bila yang menjalankan ibadah haji atau umroh adalah seorang pemimpin atau pejabat pemerintah disaat kondisi rakyatnya sedang mengalami penderitaan, seperti banyaknya kelaparan, rendahnnya akses masyarakat miskin untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan pendidikan, kemiskinan tersembunyi, mahalnya harga bahan pokok, dan lain-lainnya.
Adakah para pemimpin dan pejabat kita menangis karena kondisi-kondisi tersebut? Dapat dipastikan sangat jarang atau tidak sama sekali, yang ada ya sebatas pemenuhan kebutuhan personal di atas. Ini dapat dilihat dari tidak adanya pemikiran baru, langkah baru, terobosan baru yang diperbuat para pejabat dan pemimpin tersebut sepulang dari ibadah yang dilakukannya. Kebijakan masih sama, tindakan masih sama, terobosan baru tidak ada, masih tetap sama. Artinya karena perjalanan ibadah yang dilakukan tersebut sebatas kepentingan personal, tidak ada berkah secara sosial padahal waktu yang dihabiskan disana menghabiskan waktu selaku pejabat atau pemimpin. Itu sudah suatu bentuk pemborosan. Anehnya lagi hampir setiap kali musim haji sebagian pejabat ikut menunaikan ibadah haji, baik dengan biaya sendiri maupun biaya yang didapat dari pemerintah, ada juga orang menjalankan ibadah haji dengan menabung selama puluhan tahun.
Kenapa masih banyak pejabat maupun masyarakat sangat antusias melakukan ibadah haji dan umroh lebih dari satu kali, tanpa hasil secara kemanusiaan, padahal masih banyak kewajiban lain yang tidak kalah pentingnya seperti ibadah sosial. Antusiasme umat Islam Indonesia untuk beribadah haji, mengembirakan bagi orang yang menjalankan haji atau umroh, perusahaan penyelenggara haji, dan pemerintah. Yang paling di untungkan adalah pemerintah Arab Saudi karena dagangannya laku.
Menarik sekali menyimak laporan majalah Gatra edisi berikut, disitu Ada pertimbangan sosial dan agama dalam melihat satu beban atau kewajiban, bagi seseorang dalam menjalankan ibadah haji maupun umroh. “Dalam Islam, ada dua kategori ibadah: ibadah qashirah (ibadah individual) yang manfaatnya hanya dirasakan pelakunya dan ibadah muta'addiyah (ibadah sosial) yang manfaatnya dirasakan pelakunya dan orang lain. Ibadah haji dan umrah termasuk ibadah qashirah. Karenanya, ketika pada saat bersamaan terdapat ibadah qashirah dan muta'addiyah, Nabi SAW tidak mengerjakan ibadah qashirah, melainkan memilih ibadah muta'addiyah.
Menyantuni anak yatim, yang termasuk ibadah muta'addiyah, misalnya, oleh Nabi SAW, penyantunnya dijanjikan surga, malah kelak hidup berdampingan dengan beliau. Sementara untuk haji mabrur, Nabi SAW hanya menjanjikan surga, tanpa janji berdampingan bersama beliau. Ini bukti, ibadah sosial lebih utama ketimbang ibadah individual.
Di Madinah, banyak ''mahasiswa'' belajar pada Nabi SAW. Mereka tinggal di shuffah Masjid Nabawi. Jumlahnya ratusan. Mereka yang disebut ahl al-shuffah itu adalah mahasiswa Nabi SAW yang tidak memiliki apa-apa kecuali dirinya sendiri, seperti Abu Hurairah. Bersama para sahabat, Nabi SAW menanggung makan mereka. Ibadah muta'addiyah seperti ini yang diteladankan beliau, bukan pergi haji berkali-kali atau menggiring jamaah umrah tiap bulan. Karenanya, para ulama dari kalangan Tabiin seperti Muhammad bin Sirin, Ibrahim al-Nakha'i, dan Malik bin Anas berpendapat, beribadah umrah setahun dua kali hukumnya makruh (tidak disukai), karena Nabi SAW dan ulama salaf tidak pernah melakukannya.
Dalam hadis qudsi riwayat Imam Muslim ditegaskan, Allah dapat ditemui di sisi orang sakit, orang kelaparan, orang kehausan, dan orang menderita. Nabi SAW tidak menyatakan bahwa Allah dapat ditemui di sisi Ka'bah. Jadi, Allah berada di sisi orang lemah dan menderita. Allah dapat ditemui melalui ibadah sosial, bukan hanya ibadah individual. Kaidah fikih menyebutkan, al-muta'addiyah afdhol min al-qashirah (ibadah sosial lebih utama daripada ibadah individual).
Jumlah jamaah haji Indonesia yang tiap tahun di atas 200.000 sekilas menggembirakan. Namun, bila ditelaah lebih jauh, kenyataan itu justru memprihatinkan, karena sebagian dari jumlah itu sudah beribadah haji berkali-kali. Boleh jadi, kepergian mereka yang berkali-kali itu bukan lagi sunah, melainkan makruh, bahkan haram.
Ketika banyak anak yatim telantar, puluhan ribu orang menjadi tunawisma akibat bencana alam, banyak balita busung lapar, banyak rumah Allah roboh, banyak orang terkena pemutusan hubungan kerja, banyak orang makan nasi aking, dan banyak rumah yatim dan bangunan pesantren terbengkalai, lalu kita pergi haji kedua atau ketiga kalinya, maka kita patut bertanya pada diri sendiri, apakah haji kita itu karena melaksanakan perintah Allah?”Ali Mustafa Yaqub Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta [Kolom, Gatra Nomor 10 Beredar Senin, 16 Januari 2006].
Apa yang kita kaji dari kutipan diatas, betapa pentingnya berfikir kritis terhadap realitas sosial dan keagamaan. Bagaimana menempatkan tugas kewajiban sebagai pribadi maupun sebagai pemimpin dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.
Kesediaan Wakil Presiden untuk membawa pulang para deportan adalah suatu tindakan yang positif akan tetapi di sisi lain kalau kita cermati, ada suatu pesan yang mendalam dalam peristiwa ini. Pertama, pesan politik, bahwa Yusuf Kalla secara kepaa pemerintahan dengan lapang dada bersedia membawa pulang rakyaknya yang dianggap illegal oleh negara lain. Dari sisi ini Yusuf Kalla bisa dinilai bagus. Kedua, lemahnya ekonomi Indonesia, kenapa, karena para deportan itu secara ekonomi adalah orang ingin tetap bekerja atau tinggal di negara lain tanpa prosedur yang diparsyaratkan. Ini artinya, karena secara ekonomi, orang-orang tersebut lebih diuntungkan tinggal di negara lain dibandingkan tetap di Indonesia. Karena apa, karena ekonomi kita memang lemah. Di lain pihak, banjirnya jumlah haji dan umroh ke Arab Saudi dari Indonesia, memberikan sumbangan ekonomi yang luar biasa pada Arab Saudi tiap tahun dan itu sangat tidak seimbang dengan kontribusi Arab Saudi ke Indonesia secara ekonomi. Karena apa, Arab Saudi hanya mengimpor tenaga kerja tingakt rendah yang seringkali malah berbuntut kekerasan tanpa perlindungan yang memadai. Dalam hal ini hubungan Indonesia – Arab Saudi yang notabene dekat secara spiritual, sangat ironi memang. Ketiga adalah moral kemanusiaan, banyaknya kasus TKI yang dihukum mati, perkosaan, dan lain-lainnya membuat haru, miris, dan bergetar bagi siapa saja yang menghargai bahwa manusia itu sama dihadapan Tuhan. Betapa tidak, fenomena pembantu bagi masyarakat Indonesia sangatlah umum, karena hampir tiap keluarga menengah di Indonesia pasti memiliki pembantu. Dari banyaknya pembantu yang bekerja di kelaurga tanah air, hampir pasti jarang ada persoalan yang serius, coba bandingkan mereka yang bekerja di Arab Saudi, hampir setiap saat kita dikagetkan akan berita, pemerkosaan, hukum mati, atau lain-lainnya, yang secara manusiawi membuat hati kita tersentak, bergetar, dan haru. Akankan semua itu akan berakhir, jawabannya “ya” segera setelah ekonomi kita baik, pemerintah mengelola negara ini dengan baik, membuka lapanga kerja yang luas, sehingga rakyak bisa memanuhi kebutuhan keluarganya dengan bekerja di negara sendiri. Sebaliknya kondisi tersebut tidak akan berakhir, kalau pemerintah mengelola negara masih seperti sekarang ini, banyak korupsi, berfocus pada diri sendiri atau kelompok kecil lingkungan sendiri, DPR yang tidak berfungsi dengan semestinya dalam membela rakyat.
Naik Haji Sebuah Kritik SosialIbadah haji sudah menjadi suatu kewajiban bagi umat Islam, akan tetapi seringkali substansi dari ibadah haji tersebut belum dijiwai secara menyeluruh, terutama dari segi pemenuhan kebutuhan personal dan sosial. Seringkali yang ada ibadah haji baru sebatas pemenuhan kebutuhan personal yaitu bentuk vertikalnya saja. Kebutuhan sosial sebagai bentuk horisontal kehidupan, masih sangat kecil dipertimabanglankan. Yang menarik adalah bila yang menjalankan ibadah haji atau umroh adalah seorang pemimpin atau pejabat pemerintah disaat kondisi rakyatnya sedang mengalami penderitaan, seperti banyaknya kelaparan, rendahnnya akses masyarakat miskin untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan pendidikan, kemiskinan tersembunyi, mahalnya harga bahan pokok, dan lain-lainnya.
Adakah para pemimpin dan pejabat kita menangis karena kondisi-kondisi tersebut? Dapat dipastikan sangat jarang atau tidak sama sekali, yang ada ya sebatas pemenuhan kebutuhan personal di atas. Ini dapat dilihat dari tidak adanya pemikiran baru, langkah baru, terobosan baru yang diperbuat para pejabat dan pemimpin tersebut sepulang dari ibadah yang dilakukannya. Kebijakan masih sama, tindakan masih sama, terobosan baru tidak ada, masih tetap sama. Artinya karena perjalanan ibadah yang dilakukan tersebut sebatas kepentingan personal, tidak ada berkah secara sosial padahal waktu yang dihabiskan disana menghabiskan waktu selaku pejabat atau pemimpin. Itu sudah suatu bentuk pemborosan. Anehnya lagi hampir setiap kali musim haji sebagian pejabat ikut menunaikan ibadah haji, baik dengan biaya sendiri maupun biaya yang didapat dari pemerintah, ada juga orang menjalankan ibadah haji dengan menabung selama puluhan tahun.
Kenapa masih banyak pejabat maupun masyarakat sangat antusias melakukan ibadah haji dan umroh lebih dari satu kali, tanpa hasil secara kemanusiaan, padahal masih banyak kewajiban lain yang tidak kalah pentingnya seperti ibadah sosial. Antusiasme umat Islam Indonesia untuk beribadah haji, mengembirakan bagi orang yang menjalankan haji atau umroh, perusahaan penyelenggara haji, dan pemerintah. Yang paling di untungkan adalah pemerintah Arab Saudi karena dagangannya laku.
Menarik sekali menyimak laporan majalah Gatra edisi berikut, disitu Ada pertimbangan sosial dan agama dalam melihat satu beban atau kewajiban, bagi seseorang dalam menjalankan ibadah haji maupun umroh. “Dalam Islam, ada dua kategori ibadah: ibadah qashirah (ibadah individual) yang manfaatnya hanya dirasakan pelakunya dan ibadah muta'addiyah (ibadah sosial) yang manfaatnya dirasakan pelakunya dan orang lain. Ibadah haji dan umrah termasuk ibadah qashirah. Karenanya, ketika pada saat bersamaan terdapat ibadah qashirah dan muta'addiyah, Nabi SAW tidak mengerjakan ibadah qashirah, melainkan memilih ibadah muta'addiyah.
Menyantuni anak yatim, yang termasuk ibadah muta'addiyah, misalnya, oleh Nabi SAW, penyantunnya dijanjikan surga, malah kelak hidup berdampingan dengan beliau. Sementara untuk haji mabrur, Nabi SAW hanya menjanjikan surga, tanpa janji berdampingan bersama beliau. Ini bukti, ibadah sosial lebih utama ketimbang ibadah individual.
Di Madinah, banyak ''mahasiswa'' belajar pada Nabi SAW. Mereka tinggal di shuffah Masjid Nabawi. Jumlahnya ratusan. Mereka yang disebut ahl al-shuffah itu adalah mahasiswa Nabi SAW yang tidak memiliki apa-apa kecuali dirinya sendiri, seperti Abu Hurairah. Bersama para sahabat, Nabi SAW menanggung makan mereka. Ibadah muta'addiyah seperti ini yang diteladankan beliau, bukan pergi haji berkali-kali atau menggiring jamaah umrah tiap bulan. Karenanya, para ulama dari kalangan Tabiin seperti Muhammad bin Sirin, Ibrahim al-Nakha'i, dan Malik bin Anas berpendapat, beribadah umrah setahun dua kali hukumnya makruh (tidak disukai), karena Nabi SAW dan ulama salaf tidak pernah melakukannya.
Dalam hadis qudsi riwayat Imam Muslim ditegaskan, Allah dapat ditemui di sisi orang sakit, orang kelaparan, orang kehausan, dan orang menderita. Nabi SAW tidak menyatakan bahwa Allah dapat ditemui di sisi Ka'bah. Jadi, Allah berada di sisi orang lemah dan menderita. Allah dapat ditemui melalui ibadah sosial, bukan hanya ibadah individual. Kaidah fikih menyebutkan, al-muta'addiyah afdhol min al-qashirah (ibadah sosial lebih utama daripada ibadah individual).
Jumlah jamaah haji Indonesia yang tiap tahun di atas 200.000 sekilas menggembirakan. Namun, bila ditelaah lebih jauh, kenyataan itu justru memprihatinkan, karena sebagian dari jumlah itu sudah beribadah haji berkali-kali. Boleh jadi, kepergian mereka yang berkali-kali itu bukan lagi sunah, melainkan makruh, bahkan haram.
Ketika banyak anak yatim telantar, puluhan ribu orang menjadi tunawisma akibat bencana alam, banyak balita busung lapar, banyak rumah Allah roboh, banyak orang terkena pemutusan hubungan kerja, banyak orang makan nasi aking, dan banyak rumah yatim dan bangunan pesantren terbengkalai, lalu kita pergi haji kedua atau ketiga kalinya, maka kita patut bertanya pada diri sendiri, apakah haji kita itu karena melaksanakan perintah Allah?”Ali Mustafa Yaqub Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta [Kolom, Gatra Nomor 10 Beredar Senin, 16 Januari 2006].
Apa yang kita kaji dari kutipan diatas, betapa pentingnya berfikir kritis terhadap realitas sosial dan keagamaan. Bagaimana menempatkan tugas kewajiban sebagai pribadi maupun sebagai pemimpin dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.
Comments
@nataludin :
mudah-mudahan saja....
jangan sampai hal ini menjadi boncengan bagi kepentingan politik seperti yang pernah saya lihat.
trus apa yg kita perbuat sekarang? mengelus dada? meratapi nasib? atau menjadi pendemo besar yg ketika ada kesempatan justru hilang ga ada juntrungan, banyak contohnya tuh.. para reformis yg turun ke jalan yg ketika duduk di pemerintahan malah jadi ayam kampung yg lupa berkokok...
ga banyak yg bisa kita harapkan, selain menjadi jiwa-jiwa tangguh yg ga menauladani para insan bermulut besar... mulai dari diri sendiri aja, maaf... gw juga masih belajar untuk jadi jiwa-jiwa tangguh tadi, jadi maklum aja kalo banyak kekurangan...
salam damai,