Skip to main content

Bung Hatta dan Semangat Zaman

SIDANG pleno Komite Persiapan Konferensi Tingkat Tinggi Pembangunan Berkelanjutan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tanggal 27 Mei sampai dengan 7 Juni 2002, dibuka tepat waktu di Bali. Tetapi, ruang besar gedung Pusat Konvensi Hotel Nusa Dua masih kosong melompong. Sudah menjadi kebiasaan, sidang PBB selalu dimulai terlambat.
Ingatan melayang ke Mohammad Hatta dengan kebiasaannya untuk selalu tepat waktu. Dengan demikian, kami selalu bisa mencocokkan jam tangan dengan masuknya mobil Bung Hatta ke kantor Wakil Presiden di sebelah Istana Merdeka yang senantiasa bertepatan waktu dengan bunyi lonceng tepat pukul delapan pagi waktu mulai jam kerja pemerintah.

Begitu pula surat kabar Pemandangan terbitan Jakarta tahun 1930-an sudah bisa yakin bahwa artikel Bung Hatta akan tiba dua kali sebulan tepat waktu di Jakarta, walaupun Bung Hatta dipenjarakan di Boven Digul, Irian Barat (kini Papua), maupun di Bandaneira, Maluku.
Dan bila Bung Hatta berbulat tekad menyelesaikan studinya di Rotterdam, Belanda, dalam tahun 1932, tak syak lagi di tahun itu pula beliau tamat belajar sungguhpun tuntutan perjuangan menggebu-gebu menyeret beliau ke kancah politik..

Tepat waktu adalah ciri khas kecil yang Bung Hatta contohkan pada bangsa kita. Tetapi, alangkah sulitnya ini diwariskan pada pemimpin-pemimpin bangsa kita sekarang ini. Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat tingkat nasional dan daerah, sidang pengadilan dan sidang kabinet selalu dimulai terlambat.
Kebiasaan "jam karet" lebih lazim ketimbang "tepat waktu." Dan sasaran kebijakan ekonomi yang sudah disepakati dan tercantumkan dalam Rencana Pembangunan Tahunan maupun kesepakatan dengan International Monetary Fund (IMF) seperti tertuang dalam Letter of Intent pemerintah tidak dilaksanakan tepat waktu.

Ada lagi ciri Bung Hatta yang khas, yakni telaten-rapi atau dalam bahasa Belanda, netjes. Dalam berpakaian dan penampilan tampak ciri khas Bung Hatta untuk telaten rapi. Dari sisiran rambutnya, pemakaian kupiah, cara berpakaian sampai ke sepatu Bung Hatta selalu telaten rapi.
Ciri ini juga tampak dalam cara berpikir Bung Hatta, sistematis, teratur rapi. Tidak ada kata-kata berlebihan. Tulisan Bung Hatta padat, to the point langsung kena sasaran. Begitu pula pidato beliau, tanpa bunga-bunga kata. Langsung mengutarakan pendapat tanpa tedeng aling-aling, secara telaten rapi, zakelijk dan rasional.

Di balik tulisan dan pidato yang telaten dan rapi ini tersimpul buah pikiran yang bertumpu pada bacaan luas dari buku dalam berbagai bahasa, Inggris, Jerman, Belanda dan Perancis. Bung Hatta pencinta buku, di mana saja beliau dipenjarakan atau dibuang, buku senantiasa mendampinginya. Bahkan, ketika di bulan Desember 1935 Kapten Wiarda selaku kepala pemerintahan di tempat pembuangan Boven Digul, memerintahkan Bung Hatta untuk bersama Sutan Syahrir dalam waktu empat hari segera pindah ke Bandaneira, setelah ditahan selama sebelas bulan, Bung Hatta mengusulkan agar pemindahan ini diulur tiga minggu untuk memberi kesempatan mengatur dan mengepak buku-bukunya.

Dan dalam penjara di Den Haag, Belanda (1927-1928) serta tempat pembuangan di Indonesia (1934-1935), Bung Hatta terus belajar, membaca dan menulis dan selalu dikelilingi oleh buku-buku. Bahkan, dalam penjara di Den Haag (1927) Bung Hatta belajar menyiapkan diri untuk tentamen ujian pendahuluan di Sekolah Tinggi Ekonomi, Rotterdam.
Artikel Bung Hatta selalu ditulis tangan. Huruf-huruf tulisannya rapi dalam susunan kalimat dengan gramatikanya yang baik. Dan lembaran tulisannya kemudian tersimpan rapi. Ia tahu persis siapa yang meminjam arsip tulisannya. Pidato pentingnya tentang Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia dipinjam Professor Soepomo yang kemudian menitipkannya kepada Mr Muhammad Yamin, yang alpa mengembalikannya kepada Bung Hatta. Akibatnya, tulisan Bung Hatta tentang sistem ekonomi yang tersimpul di balik Pasal 33 UUD tidak bisa kita gali dari sumbernya.

Karangan Bung Hatta mencerminkan hasil pikiran yang jernih, cakrawala wawasan yang luas, sikap hidup tanpa pamrih dan pengalaman perjuangan yang matang. Banyak pemimpin tampil di panggung politik sekarang ini. Tapi sulit kita temukan tokoh pemimpin yang memiliki ciri watak pribadi Bung Hatta ini.
Kebanyakan pemimpin kita kurang membaca. Dan mengandalkan diri pada penulis pidato sehingga kalimat kata-kata tidak dihayatinya. Menjadi keringlah pidato para pemimpin-pemimpin kita sekarang dari semangat dan jiwa perjuangan. Kebanyakan pidato pemimpin-pemimpin sekarang adalah klise, mulai dari "memanjat puji syukur" hingga kata akhir yang tidak berkesan.
Maka mencoloklah ciri-ciri khas Bung Hatta, seperti tepat waktu, telaten rapi, kecintaan pada buku dan ilmu dan sikap hidup untuk berjuang tanpa pamrih. Ciri-ciri ini tidak datang dengan sendiri, tetapi tumbuh dari disiplin tinggi dan hasil gemblengan semangat zaman.
Ditempa semangat zaman

Bung Hatta, lahir tahun 1902 dan menempuh tahun formatif serta kedewasaan pribadi dalam masa Perang Dunia Pertama (1914-1918) dan sesudahnya. Perang dunia ini berdampak pada lahirnya kebangkitan Asia dari belenggu dominasi asing dan kaum feodal. Jepang berhasil mendepak Rusia ke luar. Cina menghapus Dinasti Manchu. Gerakan kebangsaan mulai tercetus di Indonesia. Boedi Oetomo lahir di Sekolah Kedokteran STOVIA (1908). Syarikat Islam menyusul dipelopori kaum pedagang (1912). Indische Partij lahir di kalangan menengah dan atas. Disusul dengan gelombang kebangkitan pemuda dalam Jong Java (1915) dan Jong Sumatranen Bond (1917).

Perang dunia telah melahirkan gerakan kebangsaan tidak saja di Indonesia, tetapi juga di India, Cina, Korea, dan Jepang. Setelah perang berakhir, Belanda ingin menyalurkan gelombang pasang semangat kebangsaan ini dengan menjanjikan "hak rakyat bumiputera memimpin negaranya sendiri" yang diucapkan sebagai "Janji November" atau November Belofte Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van Limburg Stirum, 18 November 1918.

Tetapi, fakta bahwa Janji November ini tidak ditindaklanjuti membangkitkan semangat protes begitu pula tindakan kesewenangan pemerintah kolonial terhadap rakyat kecil menjadikan Bung Hatta ujung tombak gerakan nonkooperasi.

Gerakan ini diperkuat oleh peristiwa yang menyentuh secara mendalam hati nurani Bung Hatta ketika mengetahui besarnya kekejaman pemerintahan kolonial. Rakyat desa dipaksa, di bawah ancaman senjata, menjual padinya kepada Pemerintah. Dan areal tanah tanaman padi milik rakyat desa dilarang untuk ditanami padi dan tanah ini harus disewakan kepada perusahaan gula untuk tanaman tebu, sungguhpun penduduk desa membutuhkannya untuk mengatasi kekurangan pangan.

Dengan bekal pengalaman pahit ini, Bung Hatta berangkat ke negeri Belanda untuk belajar pada Handel Hooge School, Rotterdam (1921). Dari negeri induk semang pemerintahan kolonial dan berkesempatan menyaksikan keadaan Indonesia dari jauh dan sudut pandang holistik berkembanglah ketetapan hati Bung Hatta untuk berjuang bagi kemerdekaan Indonesia at all costs.

Tekad dan komitmen Bung Hatta sudah terpateri dalam usia muda duapuluhan tahun dan tertuang dalam kata-kata pujangga Rene de Clercq yang gemar dikutipnya, hanya satu negeri yang menjadi negeriku. Ia tumbuh dari perbuatan, dan perbuatan itu adalah usahaku.
Bung Hatta meletakkan keseluruhan jiwa dan raganya untuk perjuangan mencapai Indonesia Merdeka. Untuk ini ia tahu besar risiko bisa ditawan, dipenjarakan, dan dibuang. Bung Hatta juga sadar bahwa berbagai kecukupan hidup material harus dikorbankan. Ia harus tahan banting untuk hidup dalam kesulitan, penderitaan, dan kesengsaraan.

Dalam penjara pembuangan Boven Digoel, Irian Jaya, Bung Hatta harus hidup dengan pembagian rangsum dalam natura tiap bulan berupa 18 kilogram beras, satu kilogram kacang hijau, dua kilogram ikan asin, 400 gram teh dan satu blok kecil garam, semuanya senilai 2 gulden dan 40 sen. Ini adalah ganjaran yang paling berat ketimbang mereka yang bersedia bekerja untuk Pemerintah Kolonial dengan upah 40 sen sehari.

Dan selama Bung Hatta teguh menolak bekerja sama dengan pemerintah kolonial dan bersikap nonkooperatif, maka penguasa penjara mengancam tidak ada harapan untuk bisa keluar dari tempat pembuangan Boven Digoel. Namun, dalam menghadapi pilihan yang demikian berat, Bung Hatta teguh pada pendiriannya, yakni menolak bekerja sama dengan pemerintah kolonial. Dengan demikian, berlakulah bagi Bung Hatta ucapan pujangga Nietzsche yang suka dikutipnya, Wass Mich nicht umbringt, macht Mich starker, yakni "apa yang tidak menumbangkan diriku, akan memperkuat diriku."

Berat konsekuensi yang harus dipikul Bung Hatta dalam bersikap nonkooperatif ini. Ia harus bertahan hidup dengan mengandalkan honorarium hasil imbalan tulisannya di surat kabar dan majalah dalam serta luar negeri. Tanpa terikat pada pemerintah, Bung Hatta leluasa aktif dalam pergerakan politik baik di negeri penjajah Belanda dalam Perhimpunan Indonesia selaku ketua umum maupun dalam pergerakan internasional melalui "Liga Menentang Imperialisme dan Untuk Kemerdekaan Nasional" selaku anggota presidium bersama Jawaharlal Nehru dari India.
Bung Hatta juga mengambil janji pribadi untuk tidak menikah sebelum tercapai Indonesia Merdeka. Janji ini ia patuhi. Dan, sebulan setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, di bulan November 1945 di Megamendung, Bogor, ia menikah pada usia 43 tahun.

Penuh dan total komitmen Bung Hatta untuk perjuangan mencapai Indonesia Merdeka. Bung Hatta menjadi pejuang yang teguh pendirian ditempa oleh semangat zaman. Ia sangat yakin bahwa suatu ketika Indonesia pasti merdeka. Tanda-tanda dan semangat zaman sudah tampak. Akan ada kelak benturan antarkekuatan imperialis di kawasan Asia yang akan menghasilkan kondisi matang bagi lahirnya Indonesia Merdeka. Dengan penuh keyakinan ramalan ini dilontarkan dalam pembelaannya di hadapan ketua dan para hakim Mahkamah Belanda di Den Haag, Belanda, Maret 1928.

Cita-cita Demokrasi

Sebagai pemuda yang menikmati keberuntungan dan privilese untuk belajar di luar negeri dibandingkan dengan rakyat miskin yang serba kekurangan di Tanah Air, tumbuh kesadaran mengesampingkan kepentingan diri dan mengorbankan diri pribadi untuk perjuangan kemerdekaan. Bagaikan sebatang lilin, biarkan diri luluh asalkan sinar terang menembus kegelapan.

Tetapi, kemerdekaan bukanlah tujuan akhir, tetapi sekadar jembatan membawa bangsa melalui alur demokrasi politik dan demokrasi sosial menuju masyarakat yang adil, makmur dan lestari. Bung Hatta menolak demokrasi yang bertumpu pada kepentingan feodal, sungguhpun Indonesia pernah mengalami sejarah kepemimpinan raja-raja. Juga ditolak demokrasi yang bertumpu pada dominasi kepentingan satu golongan agama yang menindas golongan agama lainnya, seperti pernah berlangsung di Abad Pertengahan ketika Eropa terbenam dalam peperangan antar-agama.
Rousseau, mencetuskan semboyan "kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan" (1789) yang menjadi dasar pengembangan demokrasi. Hakikat demokrasi ini ketika itu adalah pembebasan individu dari dominasi agama. Dan kemerdekaan individu diagung-agungkan. Bahkan, diartikan begitu ekstrem sehingga dalam Undang-Undang Dasar Perancis yang pertama, tercantum larangan orang berserikat. Karena perserikatan itu membatasi kemerdekaan individu. Dan dalam ekonomi bergemalah semboyan laissez faire, laissez passer yakni "merdeka berbuat, merdeka berjalan."

Individualisme dianggap ketika itu penting untuk melepaskan jiwa manusia dari kungkungan buatan manusia, seperti feodalisme dan dominasi agama. Individualisme juga penting menumbuhkan daya cipta manusia sehingga tumbuh berkembang teknologi yang memicu revolusi industri. Sungguh pun individualisme ini penting namun perlu ada kekuatan pengimbang untuk mengendalikannya agar tidak mendominasi kehidupan.
Dari sudut inilah Bung Hatta beranjak. Beliau menolak demokrasi yang mengutamakan individualisme. Karena dalam perkembangan masyarakat kemudian, kaum bermodallah yang paling cepat bisa memanfaatkan demokrasi seperti ini. Dan kaum pemodal, kapitalis, bisa tumbuh bila tidak ada kekuatan pengimbang terhadap dirinya. Dengan demikian, tumbuh dominan kaum kapitalis dalam demokrasi kapitalis ini.

Dalam demokrasi kapitalis inilah terbuka lebar jalan l'exploitation de l'homme par l'homme yakni "eksploitasi manusia atas manusia." Manusia buruh dieksploitasi oleh manusia kapitalis. Manusia petani kecil dieksploitasi oleh manusia pemilik tanah besar. Yang lemah dieksploitasi yang kuat.
Bung Hatta menginginkan demokrasi yang mengoreksi kekurangan ini. Hak politik harus berada di tangan rakyat. Supaya rakyat bisa mengembangkan hak demokrasinya, secara sadar perlu ditumbuhkan kekuatan pengimbang guna mencegah dominasi kaum kapitalis dan feodal. Dalam kaitan inilah sangat penting adanya:

Pertama, kebebasan berserikat dan berorganisasi, sebagai kebalikan dari sikap Perancis dengan UUD yang pertama. Tumbuhnya organisasi perlu sebagai kekuatan pengimbang bagi kelompok bermodal, kelompok bersenjata dan kelompok yang mendominasi masyarakat politik. Dominasi kelompok cenderung bergeser ke jurusan penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang. Untuk mencegah inilah harus ada kekuatan pengimbang. Dan untuk inilah perlu dijamin kebebasan berorganisasi.

Kedua, kebebasan menyatakan pendapat dalam tulisan dan lisan. Karena itu beliau menolak sensor pers. Dalam konteks masa sekarang perlu juga diberantas "praktik amplop" bagi wartawan guna mencegah hilangnya obyektivitas pemberitaan. Pemaksaan pendapat pun harus dicegah agar masyarakat tidak tertipu oleh informasi yang cenderung bersifat indoktrinasi.

Ketiga, hak sanggahan secara massal, mass protes, yang memang sudah dikenal masyarakat desa di Jawa, dan dilakukan tanpa kekerasan. Dalam masa sekarang sanggahan massal bisa terwujud dalam bentuk surat protes massal, polling publik, gugatan publik, aksi dan wacana publik. Penguasa berkepentingan memahami dan menanggapi sanggahan publik ini.

Keempat, pembangkitan semangat gotong-royong, rasa bersama, kolektivitas untuk bersama-sama menerima atau menolak sesuatu. Di masa kini ini terwujud dalam ikhtiar pemberdayaan masyarakat madani, pengembangan kapasitas masyarakat desa, lembaga berbasis komunitas, lembaga swadaya masyarakat dan lain-lain. Pemberdayaan kelompok menggalang kekuatan pengimbang, terutama bagi yang lemah terhadap yang kuat.
Kelima, pemberdayaan kekuatan ekonomi masyarakat dari bawah, bottom-up, dengan membuka aksesibilitas rakyat kecil pada pengelolaan sumber daya alam, seperti tanah, hutan, laut, pantai, bahan mineral, fauna, flora. Juga membuka aksesibilitas rakyat kecil pada sumber pembiayaan berupa modal, kredit perbankan. Dan membuka aksesibilitas rakyat kecil pada fasilitas pendidikan, kesehatan, pengembangan kapasitas teknologi, pemasaran dan modal buatan manusia.

Dengan mewujudkan kelima-lima pokok ini demokrasi politik tumbuh berimbang dengan demokrasi ekonomi yang terjalin dalam demokrasi kerakyatan. Dan, "medan kerja" (level playing field) yang dihadapi rakyat adalah adil, fair, dan berimbang dengan dorongan kebijakan pembangunan yang memberi pengutamaan, affirmasi, dan perlindungan bagi mereka yang lemah dan miskin.
Demokrasi kerakyatan yang didambakan Bung Hatta mempunyai berbagai lapis. Lapisan pertama di tingkat desa, yang memungkinkan pemilihan langsung wakil rakyat oleh rakyat pemilih di desa. Lapisan kedua di tingkat provinsi melalui pemilihan wakil rakyat dalam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dan lapisan ketiga di tingkat nasional melalui pemilihan wakil rakyat dalam Dewan Perwakilan Rakyat.

Tercermin dalam pola ini struktur pemerintahan dan sistem ekonomi yang terdesentralisasi. Desentralisasi politik terwujud melalui pemilihan wakil rakyat di daerah dan desentralisasi ekonomi dilakukan melalui persebaran usaha oleh rakyat desa dan daerah antara lain melalui bentuk koperasi. Tekanan Bung Hatta adalah pada bentuk perekonomian yang hasilnya dipungut rakyat. Bila Indonesia diibaratkan satu taman luas, maka koperasi adalah pohon-pohon yang membuahkan hasil yang dipungut rakyat penanam pohon itu sendiri.
Semangat zaman beralih
Indonesia Merdeka sudah tercapai. Bahkan, Republik Indonesia kini berusia 57 tahun. Dan selama ini telah dipimpin oleh lima Presiden dan sembilan Wakil Presiden.
Jumlah penduduknya pun meningkat dari 50 juta pada permulaan kemerdekaan menjadi 210 juta jiwa sekarang ini. Laju pertumbuhan penduduk yang semulanya 2,5 persen setahun di tahun 1950-an berhasil diturunkan dengan separuh di tahun 1990-an. Program Keluarga Berencana yang berhasil menurunkannya ini memperoleh penghargaan Lembaga Kependudukan dan Keluarga Berencana PBB tahun 1980-an.
Tingkat buta huruf penduduk berhasil diturunkan. Kebanyakan anak-anak berusia 6-12 tahun sudah masuk sekolah dasar. Indonesia sudah mempunyai banyak sarjana dalam berbagai bidang. Banyak perempuan sekarang turut mengenyam pendidikan dan menduduki posisi dalam masyarakat.
Tingkat kematian penduduk sudah menurun. Dan panjang usia penduduk sudah semakin membaik. Berbagai penyakit rakyat sudah bisa dikendalikan. Penduduk Indonesia tidak menderita tingkat kelaparan yang akut. Pangan cukup tersedia didukung oleh program produksi swasembada pangan yang memperoleh penghargaan Food and Agriculture dari PBB tahun 1980-an.

Dalam perkembangan pembangunan, Indonesia sudah menunjukkan perobahan stuktur ekonomi yang cukup berarti. Pola produksi secara berangsur menuju ke arah keseimbangan antara sektor produksi primer dengan sektor produksi sekunder.
Jaringan prasarana jalan, jembatan, saluran irigasi, listrik dan telekomunikasi sudah membaik dan mampu menunjang mobilitas horizontal penduduk yang berlalu-lalang dari Sabang sampai Merauke.

Dampak positif semua ini menaikkan pendapatan per jiwa penduduk setahun dari 300 dollar AS (1950) menjadi 1.200 dollar (1995). Dan jutaan penduduk di bawah garis kemiskinan tahun 1970-an berhasil dikurangi di tahun sembilan-puluhan. Prestasi pembangunan ini mendorong United Nations of Development Program (UNDP) dari PBB memberi penghargaan tahun 1990-an.
Demikianlah beberapa cuplikan kemajuan yang dicapai bangsa Indonesia dalam kurun waktu 57 tahun ini. Selama itu Indonesia dipimpin oleh lima Presiden dan sembilan Wakil Presiden. Setiap pergantian jabatan Presiden tidak berlangsung lancar dan acapkali disertai guncangan politik yang cukup besar. Indonesia belum menemukan format pergantian kepemimpinan negara secara demokratis dan damai.

Di samping kemajuan yang dicapai, cukup banyak pula kekurangan selama perjalanan hidup kemerdekaan bangsa Indonesia. Salah satu kekurangan yang sangat mengganggu adalah rendahnya kualitas good governance. Ini tercermin pada gawatnya korupsi, kolusi dan nepotisme di lingkungan eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Pengembangan lembaga politik pun tertinggal dibandingkan dengan kebutuhan guna menopang laju pembangunan ekonomi. Sehingga pada suatu saat akan terjadi krisis akibat mismatch pengembangan berbagai institusi ini.

Selama tahun 1970-1995 kebijakan pembangunan telah berhasil mengangkat posisi Indonesia dari negara berpendapatan rendah di tahun 1960-an menjadi negara berpendapatan menengah tahun 1990-an. Prestasi perkembangan Indonesia merupakan bagian dari apa yang dijuluki Bank Dunia sebagai the East Asian Miracle atau "keajaiban pembangunan Asia Timur."
Dalam pertemuan Consortium Group on Indonesia (CGI) di Tokyo, April 1997, semua indikator ekonomi menunjukkan optimisme bahwa pertumbuhan ekonomi bisa berlanjut. Sehingga Bank Dunia, selaku Ketua CGI, meramalkan pada permulaan abad ke-21 ekonomi Indonesia akan memasuki tahapan permulaan negara industri.

Ambruknya nilai mata uang baht Thailand 2 Juli, 1997, disusul dengan anjloknya nilai mata uang Korea, Indonesia, Malaysia, dan Filipina sungguh mengejutkan. Sebagai bagian dari proses globalisasi, liberalisasi pasar modal dan finansial di negara-negara ini berlangsung terlalu cepat sehingga menciptakan kondisi spekulasi mata uang. Arsitektur finansial global tidak memadai untuk mencegah usaha spekulasi ini sehingga memicu krisis finansial.
Untuk Indonesia krisis keuangan berkembang menjadi krisis ekonomi yang serius sehingga berimbas kemudian pada krisis politik. Liberalisasi perkembangan ekonomi tidak disertai liberalisasi perkembangan politik, sehingga institusi politik tidak berjalan seiring dengan kebutuhan untuk mendukung perkembangan ekonomi. Lembaga demokrasi tidak berfungsi dalam struktur politik yang terkendali ketat. Krisis ekonomi menggoncangkan struktur politik begitu besar sehingga merobohkan penguasa pemegang tampuk politik.

Indonesia mengalami pergantian Presiden dan Wakil Presiden sebanyak tiga kali dalam kurun waktu krisis 1997-2002 ini. Dan Indonesia kini sedang dalam proses menemukan jalan yang sebaiknya mengatasi krisis dan memulihkan proses pembangunan bangsa. Banyak tantangan baru yang dihadapi Indonesia kini. Proses demokrasi dan desentralisasi sedang bergerak mencari bentuknya yang pas. Tak ayal lagi tentu timbul berbagai ekses-ekses negatif dalam proses transisi dari pola lama ke yang baru ini.

Dalam menempuh proses pengembangan bangsa di masa krisis dan transisi ini, dibutuhkan kepemimpinan yang mantap mampu mengemudikan "kapal" bangsa ini dengan selamat di tengah amukan badai globalisasi dengan hujan kompetisi yang keras di bawah kekuasaan dunia yang tidak simetris, serba jomplang, menguntungkan negara maju dan merugikan negara berkembang.

Dalam menanggapi badai globalisasi ini, "awak kapal" serba sibuk mengutamakan kepentingan diri dan saling berebut mencari keuntungan diri. Dalam keadaan ini dibutuhkan tipe kepemimpinan Bung Hatta yang bercirikan:
penyerahan diri secara total berjuang tanpa pamrih bagi pembangunan bangsa dengan meletakkan kepentingan diri jauh di belakang
berkarakter yang jujur serta bersih dalam kehidupan di atas jalan lurus yang diridai Tuhan Maha Esa berkomitmen penuh pada perbaikan nasib dan tingkat hidup rakyat kecil
menegakkan dan menjalankan secara konsekuen nilai-nilai demokrasi kerakyatan
mengutamakan rasio ketimbang emosi dan karena itu gandrung pada usaha mendidik rakyat ketimbang agitasi membangkitkan emosi rakyat dalam pembangunan bangsa
Semangat zaman memang sudah berubah, namun ciri-ciri kepemimpinan Bung Hatta dan esensi perjuangan memerdekakan dan membangun bangsa seperti yang dihayatinya selama hidupnya tetap kekal abadi sebagai warisan bagi generasi kini dan nanti.

Comments

Popular posts from this blog

Di Balik Pemikran Pendidikan John Dewey ( Bagian 1 )

D alam Tulisan ini mencoba untuk mengidentifikasi secara lebih jauh pemikiran John Dewey tentang pendidikan. Apa yang kita pahami, pemikiran pendidikan Dewey seiring dengan konsepsi filsafat eksperimentalisme yang dibangunnya melalui konsep dasar penmgalaman, pertumbuhan, eksperimen dan transaksi. Secara demikian Dewey juga melihat teori filsafatnya sebagai suatu teori umum tentang pendidikan dan melihat pendidikan sebagai laboran yang di dalamnya perbedaan-perbedaan filosofis menjadi konkrit dan harus diuji serta karena pendidikan dan filsafat saling membutuhkan. Terdapat dua kontribusi penting dari konsep pendidikan Dewey yakni, konsepsi baru tentang pendidikan sosial dan kesosialan pendidikan, serta memberikan bentuk dan substansi baru terhadap konsep pendidikan yang berfokust pada anak. ( Pendidikan, John Dewey, eksperimentalisme). Sebagaimana kita ketahui bahwa pendidikan pada dirinya sendiri bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi, ia memang memiliki daya dorong pada perubahan,

Pemikiran Filsafat John Dewey (Bagian 3: habis)

John Dewey dan Pendidikan Pembahasan di sini difokuskan pada John Dewey sebagai seorang pendidik, meskipun konsepsi pendidikan yang dirumuskannya sangat kental dengan pemikiran filosofisnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa pemikiran-pemikiran Dewey banyak berpengaruh pada praktek pendidikan masakini. Seiring itu pula, pemikiran-pemikiran Dewey, banyak memperoleh tanggapan pro dan kontra dari berbagai kalangan. Bagi mereka yang pro, pemikiran Dewey merupakan penyelamat pendidikan Amerika. Sebaliknya, mereka yang tidak sepakat, gagasan Dewey disebutnya sebagai lebih rusak dari gagasan Hitler.John Dewey adalah seorang filsuf dan pendidik, yang lahir tahun 1859 dan meninggal tahun 1952. Sebagai seorang filsuf, aliran filosofinya diklasifikasikan dalam kategori. Pragmatisme, meskipun Dewey sendiri lebih sering menggunakan istilah instrumentalisme dan eksperimentalisme. Menurut Garforth (1996) filosofi pragmatisme sering diarahkan sebagai filosofi konsekuensi yang menggunakan hasil atau konseku

Penderitaan Rakyat Momentum Penyatuan Pergerakan Mahasiswa

Oleh : IksanHb Pergerakan solidaritas mahasiswa atas kedaulatan rakyat dalam memperjuangkan demokratisasi di Indonesia, ada dalam roh kekuatan suara rakyat. Satu filosis idiologi pergerakan rakyat adalah gerakan terorganiser lebih baik dari pada kekuatan individu yang berkuasa. Potensi yang bersumber dari riel kekuatan rakyat dan penyatuan pergerakan mahasiswa adalah sebuah kekuatan besar dalam menentukan sebuah pilihan. Gerakan mahasiswa di Indonesia adalah kegiatan kemahasiswaan yang ada di dalam maupun di luar perguruan tinggi yang dilakukan untuk meningkatkan kecakapan, intelektualitas dan kemampuan kepemimpinan para aktivis yang terlibat di dalamnya.Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, gerakan mahasiswa seringkali menjadi cikal bakal perjuangan nasional, seperti yang tampak dalam lembaran sejarah bangsa. (Wekipedia, Gerakan Mahasiswa Indonesia.) Gerakan mahasiswa diberbagai momentum dalam menciptakan sebuah perubahan dan pergantian pemimpin seperti yang terjadi di berbagai n