Skip to main content

Antara NKRI dan Federalisme

Antara NKRI dan Federalisme


Oleh Abdurrahman Wahid

Istilah NKRI dipakai oleh para pendiri negara ini untuk menunjukkan bahwa ia adalah sebuah negara dengan kepemimpinan tunggal dan arah perjalanan hidup yang sama bagi warga bangsa ini.
Namun kini istilah yang berarti Negara Kesatuan Republik Indonesia, sering dijadikan lawan bagi sebuah istilah lain, yaitu keberbagaian (pluralitas) dan toleransi. Padahal itu semua perlu ada, untuk menjawab tantangan yang mengganggap kita tidak mungkin membuat sebuah negara dan bangsa yang bersatu.
Beberapa bidang telah memiliki format persatuan yang jelas sehingga tidak memerlukan penegasan. Contohnya adalah bahasa nasional kita yang dikembangkan dari bahasa Riau, antara lain oleh Raja Haji Ali,yang dimakamkan di Pulau Penyengat.
Dari bahasa Riau itu, kemudian muncul dua buah bahasa pada tingkat nasional, yaitu bahasa nasional kita -dikenal dengan nama bahasa Indonesia. Juga bahasa nasional Malaysia -disebut juga bahasa Malaysia. Untuk mendukung keberadaan bahasa Indonesia itu, dibuatlah istilah NKRI. Tentu saja, hal-hal seperti itu tidak pernah dijelaskan dengan gamblang.
Kesatuan dan ‘federalisme’ ternyata berkembang dengan baik dalam pengelolaan negara. Lalu timbul keinginan untuk menekankan kesatuan sehingga dengan sendirinya istilah NKRI semakin banyak muncul dalam pembicaraan di kalangan bangsa kita.
Sebab lainnya adalah banyaknya tuntutan otonomi yang akan semakin memupus kekuatan pusat (dan tentu saja semakin kuatnya kekuatan pemerintah daerah dan penambahan kekuasaannya).
Ada pihak yang merasa bahwa kedua hal itu tidak perlu dikemukakan lagi, minimal dalam rumusan resmi berbagai instrumen dasar negara kita. Dengan sendirinya, hal itu akan diliput oleh berbagai undang-undang organik. Dengan demikian, instrumen-instrumen dasar tersebut tidak perlu kita ubah dan tidak perlu adanya amandemen.
Namun sekarang pola dialog tentang UUD menjadi “kemasukan angin” dan kita lalu berdialog dengan menggunakan istilah yang berbeda- beda. Sebenarnya, kerancuan dialog inilah yang harus kita mengerti, bukannya “salah sambung” yang terjadi antara kita sendiri.
Memang, mencari pengertian yang sama tentang sesuatu hal, apalagi yang terkait dengan instrumen dasar sebuah negara, bukanlah pekerjaan mudah. Ia memerlukan juga kejujuran mutlak di samping kemampuan (expertise).
Karena itu, dialog di antara berbagai pihak tentang instrumen dasar negara seperti digambarkan di atas memerlukan kesabaran dan jangka waktu yang panjang. Oleh sebab itu, cara “menyelesaikan” masalah undang-undang dasar kita memerlukan ketabahan yang boleh di kata luar biasa. Karena itu, panjangnya waktu dan penunjukan siapa yang membicarakan undang-undang dasar itu, menjadi sangat penting bagi negara kita. Penilaian akhir tentang perlu atau tidaknya UUD kita di amandemen, bukanlah perkara kecil.
Dalam sebuah halaqoh tentang konstitusi dan temu wicara hukum acara yang diselenggarakan DPP PKB dan Mahkamah Konstitusi baru-baru ini, penulis menyatakan bahwa penulis adalah korban dari sebuah komplotan jahat yang akhirnya memaksa untuk mengundurkan diri dari jabatan Presiden RI pada 21 Juli 2001.
Mengapa penulis menamakan proses itu sebagai komplotan? Berarti ada sesuatu yang melanggar hukum dan menentang konstitusi? Jawabnya karena hal itu memang demikian, Dimulai dari Pansus Bulog dan Brunei Gate, yang dipimpin Bachtiar Chamsyah. Hal itu saja sudah dapat menunjukkan adanya proses idealisasi nilai-nilai yang dianggap “Islami” sebagai capaian yang harus diperoleh organisasi-organisasi Islam. Bukankah itu pelanggaran konstitusi? Bachtiar Chamsyah sendiri melakukan pelanggaran undang-undang dengan membiarkan pintu sidang-sidang pansus terbuka sekitar sepuluh centimeter. Maksudnya, agar para wartawan dapat merekam pembicaraan yang terjadi dalam ruangan.
Padahal, sebuah undang-undang secara spesifik melarang sidang-sidang pansus dilakukan secara terbuka. Memang, karena dari semula sejumlah parpol dan perwira tinggi TNI sudah memutuskan untuk menyingkirkan penulis dari jabatan Presiden RI. Karena itu, segala macam pelanggaran dibiarkan saja. Bahkan, alasan formal yang tadinya berupa ‘pelanggaran legalitas’ oleh penulis, akhirnya tidak dapat dibuktikan. Akibatnya, diambil keputusan politik untuk menyingkirkan penulis dari jabatan kepresidenan.
Langkah itu diambil dengan berbagai macam pelanggaran, seperti tidak adanya pembicaraan hal itu di DPR RI dan pelanggaran di Mahkamah Agung, ketika keputusannya diberitahukan kepada MPR RI oleh ketua Mahkamah Agung RI. Padahal, undang-undang menyatakan bahwa hal itu harus diputuskan dan disampaikan oleh sebuah komisi khusus di lingkungan MA sendiri.
Penulis bersedia mengundurkan diri dari jabatan tersebut, hanya karena ia tidak menyukai perang saudara antara sesama warga negara RI, yang tentu akan menimbulkan korban jiwa.
Nah, kepentingan pribadi para pemimpin partai untuk melengserkan penulis, ternyata membawakan konsekuensinya sendiri sehingga soal-soal yang berkaitan dengan kondisi hukum nasional kita terabaikan sama sekali dan tidak dibicarakan lagi.
Namun tentu saja, di antara hal yang penting dibicarakan dalam masalah pelanggaran terhadap konstitusi adalah akibatnya yang semakin banyak. Yaitu merajalelanya korupsi di hampir semua bidang kehidupan. Baik oleh warga negara di luar pemerintahan, juga oleh lembaga-lembaga pemerintahan. Contohnya yaitu kemalasan para birokrat untuk mendasarkan perbuatan mereka kepada kemampuan lembaga-lembaga pemerintahan.
Kaum birokrasi pemerintahan yang mana pun, membawa cara kerja mereka sendiri dalam menentukan sikap lembaganya. Langkanya penertiban atas cara kerja para pegawai negeri yang jelas-jelas bertentangan dengan undang-undang itu, menimbulkan sikap bahwa hal itu harus mati-matian dipertahankan. Herankah kita kalau hal seperti itu melahirkan pendapat bahwa korupsi tidak bisa hilang dari negeri kita?
Jakarta, 6 April 20

www.gusdur.net/

Comments

Popular posts from this blog

Di Balik Pemikran Pendidikan John Dewey ( Bagian 1 )

D alam Tulisan ini mencoba untuk mengidentifikasi secara lebih jauh pemikiran John Dewey tentang pendidikan. Apa yang kita pahami, pemikiran pendidikan Dewey seiring dengan konsepsi filsafat eksperimentalisme yang dibangunnya melalui konsep dasar penmgalaman, pertumbuhan, eksperimen dan transaksi. Secara demikian Dewey juga melihat teori filsafatnya sebagai suatu teori umum tentang pendidikan dan melihat pendidikan sebagai laboran yang di dalamnya perbedaan-perbedaan filosofis menjadi konkrit dan harus diuji serta karena pendidikan dan filsafat saling membutuhkan. Terdapat dua kontribusi penting dari konsep pendidikan Dewey yakni, konsepsi baru tentang pendidikan sosial dan kesosialan pendidikan, serta memberikan bentuk dan substansi baru terhadap konsep pendidikan yang berfokust pada anak. ( Pendidikan, John Dewey, eksperimentalisme). Sebagaimana kita ketahui bahwa pendidikan pada dirinya sendiri bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi, ia memang memiliki daya dorong pada perubahan,

Pemikiran Filsafat John Dewey (Bagian 3: habis)

John Dewey dan Pendidikan Pembahasan di sini difokuskan pada John Dewey sebagai seorang pendidik, meskipun konsepsi pendidikan yang dirumuskannya sangat kental dengan pemikiran filosofisnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa pemikiran-pemikiran Dewey banyak berpengaruh pada praktek pendidikan masakini. Seiring itu pula, pemikiran-pemikiran Dewey, banyak memperoleh tanggapan pro dan kontra dari berbagai kalangan. Bagi mereka yang pro, pemikiran Dewey merupakan penyelamat pendidikan Amerika. Sebaliknya, mereka yang tidak sepakat, gagasan Dewey disebutnya sebagai lebih rusak dari gagasan Hitler.John Dewey adalah seorang filsuf dan pendidik, yang lahir tahun 1859 dan meninggal tahun 1952. Sebagai seorang filsuf, aliran filosofinya diklasifikasikan dalam kategori. Pragmatisme, meskipun Dewey sendiri lebih sering menggunakan istilah instrumentalisme dan eksperimentalisme. Menurut Garforth (1996) filosofi pragmatisme sering diarahkan sebagai filosofi konsekuensi yang menggunakan hasil atau konseku

Penderitaan Rakyat Momentum Penyatuan Pergerakan Mahasiswa

Oleh : IksanHb Pergerakan solidaritas mahasiswa atas kedaulatan rakyat dalam memperjuangkan demokratisasi di Indonesia, ada dalam roh kekuatan suara rakyat. Satu filosis idiologi pergerakan rakyat adalah gerakan terorganiser lebih baik dari pada kekuatan individu yang berkuasa. Potensi yang bersumber dari riel kekuatan rakyat dan penyatuan pergerakan mahasiswa adalah sebuah kekuatan besar dalam menentukan sebuah pilihan. Gerakan mahasiswa di Indonesia adalah kegiatan kemahasiswaan yang ada di dalam maupun di luar perguruan tinggi yang dilakukan untuk meningkatkan kecakapan, intelektualitas dan kemampuan kepemimpinan para aktivis yang terlibat di dalamnya.Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, gerakan mahasiswa seringkali menjadi cikal bakal perjuangan nasional, seperti yang tampak dalam lembaran sejarah bangsa. (Wekipedia, Gerakan Mahasiswa Indonesia.) Gerakan mahasiswa diberbagai momentum dalam menciptakan sebuah perubahan dan pergantian pemimpin seperti yang terjadi di berbagai n