Oleh Lathiful Khuluq
Penulis biografi Mbah Hadratusy Sgaikh Hasyim Asy'ary dan sedang menulis
ttg. kemiskinan untuk Ph.D. di McGill Univ. untuk Program PhD interdisciplinary Islamic Studies dan Social Work.
Saya setuju dengan penulis, "tragedi zakat Pasuruan" bisa didekati
dari sudut:
1. Kemiskinan struktural.
Negara membiarkan kemiskinan terjadi dengan berbagai kebijakannya.
Banyak kebijakan yang memiskinkan rakyat terutama di pedesaan. Policy bias kota
adalah salah satu theori yang menjelaskan kemiskinan terutama di pedesaan.
Pemerintah selama ini lebih memprioritaskan pembangunan di perkotaan karena
salah satunya konstituen/ warga kota dekat dengan pusat kekuasaan. Kalau
mereka bergolak lebih membahayakan kekuasaan karena mudah demo dan anarki
di jantung kekuasaan.
Ketiadaan pemihakan terhadap ekonomi pedesaan yang berbasis pertanian/perikanan
menjadi faktor lain terjadinya kemiskinan terutama di pedesaan.
Kurangnya prioritas pemerintah untuk meningkatkan SDM dengan meningkatkan
kualitas pendidikan terutama di pedesaan juga faktor utama kemiskinan ini.
APBD/APBN banyak terkuras ke anggaran rutin dan anggaran untuk kesejahteraan
rakyat sangat minim.
Kalau di negara maju yang menerapkan welfare state seperti Kanada, orang miskin
digaji cukup untuk makan tiap bulan. Anak-anak mendapat child benefit/allowance
untuk makan bergizi. Di Indonesia, bantuan seperti ini hanya sporadis dan kurang
cukup.
Naiknya harga BBM yang memicu inflasi tinggi di Indonesia baru-baru banyak menambah
banyak orang miskin baru atau orang hampir miskin yang jatuh menjadi miskin lagi.
Kurangnya lapangan kerja dengan gaji yang cukup tidak bisa mengimbangi penurunan
inflasi ini.
2. Kemiskinan kultural
Faktor ini kebanyakan blaming the victim, menyalahkan korban. Orang miskin yang
menjadi korban kebijakan struktural yang tidak memihak mereka disalahkan atas
kemiskinan mereka. Sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah miskin disalahkan lagi.
Mereka miskin karena malas. Memang ada juga yang seperti itu. Tapi mengapa mereka
malas? Mungkin karena gizi yang dimakan kurang karena miskin sehingga badan susah
digerakkan. Mungkin karena mereka kurang terdidik sehingga kurang punya pilihan
untuk mencari penghasilan yang layak.
********
Kalau kita lihat kejadian di Pasuruan, mungkin orang bisa menyalahkan mengapa mereka
kurang tertib dalam antri. Tapi, mereka orang miskin yang sedang puasa. Mungkin sahurnya
juga ala kadarnya. Disuruh nunggu mulai jam enam pagi sampai jam 10.00 siang. Di desak
dari kiri kanan belakang. Di depan dihadang jeruji besi. Siapa yang tahan dalam kondisi
seperti itu.
Yang mendesak maju juga gak percaya apa mereka masih dapat sisa zakat yang ada.
Yang memberi zakat juga mungkin ada pamrihnya. Mengapa pembagian zakat diumumkan
lewat radio. Apa ingin medongkrak popularitas sehingga nanti kalau mau nyalon kepala
desa atau caleg mudah mendapat konstituen? Lalu bagaimana menskreening apa mereka
berhak atas zakat yang ada?
Kalau kita lihat, banyak faktor yang menyebabkan kejadian ini. Hampir semua pihak
punya saham kesalahan dalam tragedi ini. Kesalahan terbesar pada penyelenggara.
Polisi dan pemerintah juga salah kurang bisa mengantisipasi.
SOLUSI:
Kalau saya setuju dengan usul Kyai Masdar, gabungkan saja zakat dengan pajak. Ini lebih
fair. Orang Islam gak perlu bayar dobel, ya pajak ya zakat. Hanya zakat/pajak ini harus
dikawal penggunaannya. Harus untuk kesejahteraan rakyat. Bukan untuk studi banding,
sosialisasi, beaya kampanye, bahkan korupsi.
Pemerintah harus mampu membuka banyak lapangan kerja atau paling tidak memfasilitasi orang
untuk mudah membuka lapangan pekerjaan.
Pro-poor economic growth jangan hanya menjadi slogan. Fasilitasi dengan kredit berbunga
rendah. Kembangkan pelatihan/pendidika n agar warga Indonesia terutama yang miskin
bisa mengolah sumber daya alam Indonesia dengan lebih baik.
Penulis biografi Mbah Hadratusy Sgaikh Hasyim Asy'ary dan sedang menulis
ttg. kemiskinan untuk Ph.D. di McGill Univ. untuk Program PhD interdisciplinary Islamic Studies dan Social Work.
Saya setuju dengan penulis, "tragedi zakat Pasuruan" bisa didekati
dari sudut:
1. Kemiskinan struktural.
Negara membiarkan kemiskinan terjadi dengan berbagai kebijakannya.
Banyak kebijakan yang memiskinkan rakyat terutama di pedesaan. Policy bias kota
adalah salah satu theori yang menjelaskan kemiskinan terutama di pedesaan.
Pemerintah selama ini lebih memprioritaskan pembangunan di perkotaan karena
salah satunya konstituen/ warga kota dekat dengan pusat kekuasaan. Kalau
mereka bergolak lebih membahayakan kekuasaan karena mudah demo dan anarki
di jantung kekuasaan.
Ketiadaan pemihakan terhadap ekonomi pedesaan yang berbasis pertanian/perikanan
menjadi faktor lain terjadinya kemiskinan terutama di pedesaan.
Kurangnya prioritas pemerintah untuk meningkatkan SDM dengan meningkatkan
kualitas pendidikan terutama di pedesaan juga faktor utama kemiskinan ini.
APBD/APBN banyak terkuras ke anggaran rutin dan anggaran untuk kesejahteraan
rakyat sangat minim.
Kalau di negara maju yang menerapkan welfare state seperti Kanada, orang miskin
digaji cukup untuk makan tiap bulan. Anak-anak mendapat child benefit/allowance
untuk makan bergizi. Di Indonesia, bantuan seperti ini hanya sporadis dan kurang
cukup.
Naiknya harga BBM yang memicu inflasi tinggi di Indonesia baru-baru banyak menambah
banyak orang miskin baru atau orang hampir miskin yang jatuh menjadi miskin lagi.
Kurangnya lapangan kerja dengan gaji yang cukup tidak bisa mengimbangi penurunan
inflasi ini.
2. Kemiskinan kultural
Faktor ini kebanyakan blaming the victim, menyalahkan korban. Orang miskin yang
menjadi korban kebijakan struktural yang tidak memihak mereka disalahkan atas
kemiskinan mereka. Sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah miskin disalahkan lagi.
Mereka miskin karena malas. Memang ada juga yang seperti itu. Tapi mengapa mereka
malas? Mungkin karena gizi yang dimakan kurang karena miskin sehingga badan susah
digerakkan. Mungkin karena mereka kurang terdidik sehingga kurang punya pilihan
untuk mencari penghasilan yang layak.
********
Kalau kita lihat kejadian di Pasuruan, mungkin orang bisa menyalahkan mengapa mereka
kurang tertib dalam antri. Tapi, mereka orang miskin yang sedang puasa. Mungkin sahurnya
juga ala kadarnya. Disuruh nunggu mulai jam enam pagi sampai jam 10.00 siang. Di desak
dari kiri kanan belakang. Di depan dihadang jeruji besi. Siapa yang tahan dalam kondisi
seperti itu.
Yang mendesak maju juga gak percaya apa mereka masih dapat sisa zakat yang ada.
Yang memberi zakat juga mungkin ada pamrihnya. Mengapa pembagian zakat diumumkan
lewat radio. Apa ingin medongkrak popularitas sehingga nanti kalau mau nyalon kepala
desa atau caleg mudah mendapat konstituen? Lalu bagaimana menskreening apa mereka
berhak atas zakat yang ada?
Kalau kita lihat, banyak faktor yang menyebabkan kejadian ini. Hampir semua pihak
punya saham kesalahan dalam tragedi ini. Kesalahan terbesar pada penyelenggara.
Polisi dan pemerintah juga salah kurang bisa mengantisipasi.
SOLUSI:
Kalau saya setuju dengan usul Kyai Masdar, gabungkan saja zakat dengan pajak. Ini lebih
fair. Orang Islam gak perlu bayar dobel, ya pajak ya zakat. Hanya zakat/pajak ini harus
dikawal penggunaannya. Harus untuk kesejahteraan rakyat. Bukan untuk studi banding,
sosialisasi, beaya kampanye, bahkan korupsi.
Pemerintah harus mampu membuka banyak lapangan kerja atau paling tidak memfasilitasi orang
untuk mudah membuka lapangan pekerjaan.
Pro-poor economic growth jangan hanya menjadi slogan. Fasilitasi dengan kredit berbunga
rendah. Kembangkan pelatihan/pendidika n agar warga Indonesia terutama yang miskin
bisa mengolah sumber daya alam Indonesia dengan lebih baik.
Comments