Pendekatan empiric versus pendekatan struktur kekuasaan
Oleh IksanHb
Pendekatan sosio-kultural didalam menelaah wujud sosial
Tamsilan kesholehan manusia di dalam filsafat ilmu pengetahuan sosial dan tidak terkecuali dari segi antropologi teologis yang banyak dipakai oleh masyarakat barat – memang secara umum banyak orang mengkaji kesholehan sosial lebih menekankan aspek perseorangan dan pribadi sebagai dasar martabat manusiawi dan pribadi sosial untuk bertanggung jawab.
Kalau kita sejak kecil belajar Ilmu pengetahuan sosial baik secara formal maupun nonformal, lebih focus untuk mengenal lebih tentang sosiologi, tiak pernah kita memperdebatkan terhadap teori-teori yang dijadikan rujukan dalam proses belajar mengajar apa lagi menolak pengertian-pengertian yang sifatnya menyinggung orang lain. Apa yang terjadi pada mereka yang mana lebih berkepentingan dalam dimensi sosial manusia dan lebih induvidualisme daripada memberi ruang masyarakat terbuka dan mempunyai kesempatan dalam menetukan nasibnya, yaitu keegosentrisan yang dimiliki manusia yang selalu ingin jadi penguasa .
Berbeda dengan keshalehan sosial pandangan sosiologis ini mengandalkan kurang lebih pengamatan empiris dan ujian, di mana teori-teori yang biasa didapat (belajar dari kenyataan “belajar dari kesalahan dan belajar dari keberhasilan empiric”). Keshalehan sosial sebagai bagian dari teori dan aksi, pantas menerima perhatian khusus dalam pemikiran yang berbaur dengan literasi filosofis dan keagamaan dalam teologis empiris dan saling menhormati. Ilmu pengetahuan sosial juga sebaiknya mencegah dari kemungkinan terjebak dalam collectivist ideology yang berbau politik kekuasaan ,yang menaruh dimensi sosial dalam posisi untung rugi dan cara mutlak dalam mencari dukungan.
Pentingnya pengertian berimbang didalam masyarakat sipil dan supaya berguna dalam menjalin hubungan individu dan masyarakat bisa ditemukan. Dalam pengamatan saya dan pendapat Lathiful Khuluq bahwa kemiskinan struktural dapat dijadikan bahan dalam menyikapi insiden di Pasuruan.
Wujud manusia miskin yang tinggal di komunitas elit dan kelas menengah keatas, tidak heran jika diantara orang-orang miskin seolah-olah di penjara: sebagai contoh situkang ojek tidak bisa menikmati makan malamnya sebagaimana pejabat atau bisnismen, situkang sayur tidak bisa mengadakan pesta ulang tahun atau pesta perkawinan anaknya seperti sikaya ( pejabat, politisi bisnismen dll) dengan meriah. Yang paling mengerikan jika situkang sayaur harus datang kepesta sikaya dengan harus membawa kado, kalau dikasih kado harga murah tidak enak karena mereka kaya, kalau dikasih yang mahal simiskin tidak punya uang, problemnya kemudian, haruskah si tukang sayaur datang? Kalau datang bingung, kalau tidak datang tidak enak. Itu adalah contoh sedikit wujud kemiskinan structural menjadi penjara dalam hidupnya.
Pembodohan yang sering terjadi adalah seolah olah hilang dengan janji-janji manis dari pemerintah maupun politisi disaat musim kampanye dan musim demonstrasi. Keberadaan manusia yang penghasilannya rendah dan kebebasan mereka sangat banyak terpaksa oleh struktur kebudayaan sebagaimana norma-norma yang ditanamkan, aturan lembaga sosial, tugas sosial, dan kontrol dan sanksi sosial. Dalam pengertian itu, pertemuan silaturahmi menjadi sulit, insiden di Pasuruan adalah contoh kecil diantara problem komuditi individu menjadi komuditas politik. Sulitnya komunikasi diantara masyarakat miskin dan kaya menjadi renggangnya basic humanitarian diantara sesama. Silaturahmi menjadi ajang tahunan dan ajang musim kampanye.
Kehidupan masyarakat sebagai wujud manusia seperti tukang dalang yang menguasai wayang kulit atau wayang goleknya. Norma-norma yang ada dalam wilayah socio-kebudayaan, yang mengatur lembaga sosial, dan norma sosial secara eksternal tidak bisa dipaksakan pada masyarakat miskin tetapi sebaiknya internalisasi agar mereka menjadi pola dan sikap kelakuan masyarakat miskin tidak terasa sebagai sebagai orang asing.
Proses Personalization: masing-masing diantara kami tidak bisa ditentuakan secara spesifik tokoh personal akan tetapi lebih daripada mitra yang harus saling menghormati. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa pandangan umum saya tidak merasa dipaksakan oleh saiapapun melainkan atas realitas kemiskinan dimata kami. Proses Internalisasi sangat penting, teristimewa bahwa aspek kultur, juga bisa menyebutkan mengapa semua orang tidak harus berbeda dalam menanggung lingkungan sosial. Budaya orang barat secara umum cenderung menjadi lebih individualis daripada budaya kita,Indonesia yang mengenal masyarakat paguyuban, gotong royong dan lebih suka bersama menjadi luntur. Bisakah kultur masyarakt timur menjadi kembali bangkit dan bersatu padu melawan kemiskinan menuju Indonesia makmur sentosa.
Oleh IksanHb
Pendekatan sosio-kultural didalam menelaah wujud sosial
Tamsilan kesholehan manusia di dalam filsafat ilmu pengetahuan sosial dan tidak terkecuali dari segi antropologi teologis yang banyak dipakai oleh masyarakat barat – memang secara umum banyak orang mengkaji kesholehan sosial lebih menekankan aspek perseorangan dan pribadi sebagai dasar martabat manusiawi dan pribadi sosial untuk bertanggung jawab.
Kalau kita sejak kecil belajar Ilmu pengetahuan sosial baik secara formal maupun nonformal, lebih focus untuk mengenal lebih tentang sosiologi, tiak pernah kita memperdebatkan terhadap teori-teori yang dijadikan rujukan dalam proses belajar mengajar apa lagi menolak pengertian-pengertian yang sifatnya menyinggung orang lain. Apa yang terjadi pada mereka yang mana lebih berkepentingan dalam dimensi sosial manusia dan lebih induvidualisme daripada memberi ruang masyarakat terbuka dan mempunyai kesempatan dalam menetukan nasibnya, yaitu keegosentrisan yang dimiliki manusia yang selalu ingin jadi penguasa .
Berbeda dengan keshalehan sosial pandangan sosiologis ini mengandalkan kurang lebih pengamatan empiris dan ujian, di mana teori-teori yang biasa didapat (belajar dari kenyataan “belajar dari kesalahan dan belajar dari keberhasilan empiric”). Keshalehan sosial sebagai bagian dari teori dan aksi, pantas menerima perhatian khusus dalam pemikiran yang berbaur dengan literasi filosofis dan keagamaan dalam teologis empiris dan saling menhormati. Ilmu pengetahuan sosial juga sebaiknya mencegah dari kemungkinan terjebak dalam collectivist ideology yang berbau politik kekuasaan ,yang menaruh dimensi sosial dalam posisi untung rugi dan cara mutlak dalam mencari dukungan.
Pentingnya pengertian berimbang didalam masyarakat sipil dan supaya berguna dalam menjalin hubungan individu dan masyarakat bisa ditemukan. Dalam pengamatan saya dan pendapat Lathiful Khuluq bahwa kemiskinan struktural dapat dijadikan bahan dalam menyikapi insiden di Pasuruan.
Wujud manusia miskin yang tinggal di komunitas elit dan kelas menengah keatas, tidak heran jika diantara orang-orang miskin seolah-olah di penjara: sebagai contoh situkang ojek tidak bisa menikmati makan malamnya sebagaimana pejabat atau bisnismen, situkang sayur tidak bisa mengadakan pesta ulang tahun atau pesta perkawinan anaknya seperti sikaya ( pejabat, politisi bisnismen dll) dengan meriah. Yang paling mengerikan jika situkang sayaur harus datang kepesta sikaya dengan harus membawa kado, kalau dikasih kado harga murah tidak enak karena mereka kaya, kalau dikasih yang mahal simiskin tidak punya uang, problemnya kemudian, haruskah si tukang sayaur datang? Kalau datang bingung, kalau tidak datang tidak enak. Itu adalah contoh sedikit wujud kemiskinan structural menjadi penjara dalam hidupnya.
Pembodohan yang sering terjadi adalah seolah olah hilang dengan janji-janji manis dari pemerintah maupun politisi disaat musim kampanye dan musim demonstrasi. Keberadaan manusia yang penghasilannya rendah dan kebebasan mereka sangat banyak terpaksa oleh struktur kebudayaan sebagaimana norma-norma yang ditanamkan, aturan lembaga sosial, tugas sosial, dan kontrol dan sanksi sosial. Dalam pengertian itu, pertemuan silaturahmi menjadi sulit, insiden di Pasuruan adalah contoh kecil diantara problem komuditi individu menjadi komuditas politik. Sulitnya komunikasi diantara masyarakat miskin dan kaya menjadi renggangnya basic humanitarian diantara sesama. Silaturahmi menjadi ajang tahunan dan ajang musim kampanye.
Kehidupan masyarakat sebagai wujud manusia seperti tukang dalang yang menguasai wayang kulit atau wayang goleknya. Norma-norma yang ada dalam wilayah socio-kebudayaan, yang mengatur lembaga sosial, dan norma sosial secara eksternal tidak bisa dipaksakan pada masyarakat miskin tetapi sebaiknya internalisasi agar mereka menjadi pola dan sikap kelakuan masyarakat miskin tidak terasa sebagai sebagai orang asing.
Proses Personalization: masing-masing diantara kami tidak bisa ditentuakan secara spesifik tokoh personal akan tetapi lebih daripada mitra yang harus saling menghormati. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa pandangan umum saya tidak merasa dipaksakan oleh saiapapun melainkan atas realitas kemiskinan dimata kami. Proses Internalisasi sangat penting, teristimewa bahwa aspek kultur, juga bisa menyebutkan mengapa semua orang tidak harus berbeda dalam menanggung lingkungan sosial. Budaya orang barat secara umum cenderung menjadi lebih individualis daripada budaya kita,Indonesia yang mengenal masyarakat paguyuban, gotong royong dan lebih suka bersama menjadi luntur. Bisakah kultur masyarakt timur menjadi kembali bangkit dan bersatu padu melawan kemiskinan menuju Indonesia makmur sentosa.
Comments