Oleh: IksanHB
Untuk memperingati dirgahayu Indonesia yang ke 63 ini saya akan mencoba mencurahkan Pikiran-pikiran dan catatan kecil menjadi sebuah tulisan yang mungkin menarik bagi kita, hanya sedikit yang saya tahu untuk berbagi solusi dalam masa transisi demokrasi yang kita perjuangkan ini.
Dalam literatur-literatur kepemimpinan, setiap pengarang maupun para kulitinta umumnya mengajukan pengertian tersendiri tentang konsep kepemimpinan. Locke mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu proses “membujuk” (inducing) orang-orang lain menuju sasaran bersama. Definisi ini mencakup tiga elemen yakni bahwa:
1. Kepemimpinan merupakan suatu konsep relasi (relational concept). Kepemimpinan
hanya ada dalam proses relasi dengan orang lain (para pengikut). Apabila tidak ada pengikut, maka tidak ada pemimpin. Dalam definisi ini juga tersirat suatu premis bahwa para pemimpin yang efektif harus mengetahui bagaimana membangkitkan inspirasi dan ber-relasi dengan para pengikut mereka.
2. Kepemimpinan merupakan suatu proses. Agar bisa memimpin, pemimpin harus melakukan sesuatu. John Gardner yang telah mengobservasi selama dalam kurun waktu dua tahun (1986-1988), menemukan bahwa kepemimpinan lebih dari sekedar menduduki suatu otoritas. Kendati posisi otoritas yang diformalkan mungkin sangat mendorong proses kepemimpinan, namun sekedar menduduki posisi itu tidak merupakan tanda seseorang untuk menjadi pemimpin.
3. Kepemimpinan harus “membujuk” orang lain untuk mengambil tindakan. Pemimpin membujuk pengikutnya melalui berbagai cara seperi menggunakan otoritas yang terlegitimasi, menciptakan model (menjadi teladan), penetapan sasaran, memberi imbalan dan hukuman, restrukturisasi organisasi dan mengkomunikasikan misi dan visinya.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka pengertian pemimpin yang efektif dalam hubungannya dengan pengikut (bawahannya) adalah pemimpin yang mampu meyakinkan mereka bahwa kepentingan pribadi dari bawahan adalah visi pemimpin, serta mampu meyakinkan bahwa mereka mempunyai andil dalam mengimplementasikannya.
Selanjutnya, menurut fungsinya, kepemimpinan dilaksanakan oleh dua jenis pemimpin yang saling berbeda, yaitu manager dan leader. Manager adalah pemimpin yang mengusahakan agar proses-proses rutin dalam lembaga berjalan lancar. Leader adalah pemimpin yang mengusahakan agar lembaga dan orang-orang yang ada di dalamnya memperbarui dirinya secara terus menerus, agar tidak ketinggalan jaman. Manager lebih banyak berperan sebagai stabilisator dalam suatu lembaga atau masyarakat, sedangkan leader lebih banyak berperan sebagai dinamisator dan inovator. Birokrat pada dasarnya manager, sedangkan teknokrat pada dasarnya leader.
Kepemimpinan merupakan salah satu fungsi manajemen yang sangat penting dalam rangka pencapaian tujuan organisasi. Terdapat banyak definisi tentang kepemimpinan yang sangat sulit untuk dirangkum menjadi satu dan bersifat menyeluruh. Dari banyaknya definisi yang ada, Samidjo menyimpulkan bahwa terdapat kesamaan asumsi dari kepemimpinan, yaitu: (a) suatu fenomena kelompok yang melibatkan interaksi antara dua orang atau lebih; dan (b) di dalamnya melibatkan proses mempengaruhi, dimana pengaruh yang sengaja (intentional influence) digunakan oleh pemimpin terhadap bawahannya.
Model kepemimpinan tidak hanya berlaku pada skala yang besar misalnya dalam negara, melainkan dapat ditemukan pada lingkup yang lebih kecil, misalnya dalam sekolah, organisasi sosial bahkan dalam skala individu. Model kepemimpinan seperti tirani, manipulatif, transaksional maupun transformasional sebenarnya dapat kita lihat sehari-hari di berbagai lingkungan sosial, baik formal maupun informal. Khusus dalam konteks kepemimpinan transformasional, model kepemimpinan ini dapat ditemukan dalam lingkungan sosial (baca: termasuk sekolah) dimana seorang pemimpin dalam skala kecil berusaha membimbing bawahan-bawahannya melalui keteladanan (contoh yang baik). Dengan demikian, sepanjang sejarah kehidupan manusia selalu akan ditemukan tiran besar dan tiran kecil, pemimpin manipulator besar dan manipulator kecil, dan akhirnya terdapat pula pemimpin transformasional besar kelas dunia, negara dan transformasional kecil kelas kepala sekolah, bahkan pada tataran keluarga, bahkan perorangan.
Meskipun terdapat empat model kepemimpinan yakni tirani, manipulatif, transaksional, dan transformasional; namun model kepemimpinan terakhirlah yang paling cocok diadopsi dalam pola pengelolaan suatu lembaga pada masa transisi, seperti misalnya pada kepemimpinan revolusi negara , juga saat transisi demokrasi negara kita pasca jatuhnya Soeharto. Hal ini dikarenakan model kepemimpinan transformasional dalam transisi demokrasi diyakini dapat menjawab tantangan kebutuhan sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada karena ia bersifat terbuka kepada setiap pembaharuan menuju ke arah peningkatan mutu menjadi lebih baik peningkatan dibidang ekonomi, politik, pendidikan dan lain-lain .
Lingkup Kepemimpinan Transformasional
Teori kepemimpinan transformasional sebenarnya lebih daripada model pendekatan dimana situasi perubahan bagian dari momentum transisi demokrasi. Meskipun tidak semuanya sama secara teori dalam setiap situasi politik, akan tetapi bagian dari salah satu pendekatan situasi transisi yang membuaka ruang public terlibat didalamnya. Gagasan awal model kepemimpinan ini dikembangkan oleh James McGregor Burns yang menerapkannya dalam konteks politik dan selanjutnya dikembangkan penerapannya ke dalam konteks organisasional oleh Bernard Bass . Dalam upaya pengenalan secara mendalam tentang model kepemimpinan transformasional ini, Bass mengemukakan adanya model kepemimpinan transaksional yakni kepemimpinan yang memelihara atau melanjutkan status quo. Kepemimpinan model ini juga didefinisikan sebagai kepemimpinan yang melibatkan suatu proses pertukaran (exchange process) dimana para pengikut mendapat imbalan yang segera dan nyata untuk melakukan perintah-perintah pemimpinnya.
Perhatian orang pada kepemimpinan didalam proses perubahan (management of change) mulai muncul ketika orang mulai menyadari bahwa pendekatan mekanistik yang selama ini digunakan untuk menjelaskan fenomena perubahan itu ternyata seringkali bertentangan dengan anggapan bahwa perubahan itu justru menjadikan tempat kerja itu lebih manusiawi. Kalau kita lihat proses politik USA dalam pemilihan Presiden yang akan di selenggarakan pada bulan November 2008, dimana isu perubahan menjadi sangat menarik dan bahkan lebih dari proses politik paling besar, karena kekuatan kedua partai antara partai demokrat dan partai republic telah berada dalam benturan nilai. Perubahan sebagai mascot kampanyae Obama yang mana Obama mengambil bagian dalam perebutan presiden yang akan datang, Obama dengan slogannya perubahan harus berhadapan dengan kelompok konserfative yang mendukung John McCain dari partai republik.
Menurut Bass, didalam merumuskan proses perubahan biasanya digunakan pendekatan transformasional yang manusiawi, dimana lingkungan kerja yang partisipatif, peluang untuk mengembangkan kepribadian dan keterbukaan dianggap sebagai kondisi yang melatar belakangi proses tersebut. Akan tetapi didalam prakteknya, proses perubahan itu dijalankan dengan bertumpu pada pendekatan transaksional yang mekanistik dan dan bersifat teknikal, dimana manusia cenderung dipandang sebagai suatu entiti ekonomik yang siap untuk dimanipulasi dengan menggunakan sistim imbalan dan umpan balik negatif dalam rangka mencapai manfaat ekonomi yang sebesar-besarnya.
Oleh karena itu, model kepemimpinan transformasional justru adalah kepemimpinan yang dipertentangkan dengan kepemimpinan yang memelihara status quo tersebut. Model kepemimpinan transformasional inilah yang sungguh-sungguh merupakan kepemimpinan sejati karena model kepemimpinan ini sungguh-sungguh bekerja menuju sasaran pada tingkatan mengarahkan organisasi kepada suatu tujuan yang tidak pernah diraih sebelumnya. Para pemimpin secara riil harus mampu mengarahkan organisasi menuju arah yang baru. Dengan demikian model kepemimpinan transformasional didefinisikan sebagai kepemimpinan yang melibatkan perubahan dalam organisasi. Kepemimpinan model ini membutuhkan tindakan memotivasi para bawahan agar bersedia bekerja demi sasaran-sasaran “tingkat tinggi” yang dianggap melampaui kepentingan pribadinya saat itu.
Dengan model kepemimpinan transformasional dalam transisi demokrasi, seorang pemimpin bisa berhasil mengubah status quo dalam organisasinya dengan cara mempraktekkan perilaku yang sesuai dengan setiap tahapan proses transformasi. Apabila cara-cara lama dinilai sudah tidak lagi sesuai, maka sang pemimpin akan menyusun visi baru mengenai masa depan dengan fokus strategik dan motivasional. Visi tersebut menyatakan dengan tegas tujuan organisasi dan sekaligus berfungsi sebagai sumber inspirasi dan komitmen. Secara demikian, acuan dimensi-dimensi perilaku kepemimpinan transformasional didefinisikan sebagai rujukan dimensi perilaku kepemimpinan yang menghasilkan keputusan dan kebijakan terhadap bawahannya, yang merupakan cerminan dari unsur-unsur kharisma, kepekaan terhadap keunikan per-individu, dan orientasi stimulasi intelektual.
Pola kepemimpinan transformasional dalam transisi demokrasi dalam kegiatan sehari-hari dapat diimplementasikan melalui perilaku yang mencerminkan sikap-sikap dari tiga unsur yakni kharisma, kepekaan individu, dan stimulasi intelektual. Kegagalan pemimpin kita karena kurangnya kepekaan dalam merespon Hal-hal yang kecil dalam kehidupan masyarakat, bukan hanya presiden yang harus menggunakan pendekatan transformasi kepemimpinan akan tetapi juga kabinetnya juga harus lebih peka terhadap setiap bagian kehidupan rakyat. Kalau presiden mampu membaca dan melakukan hal-hal yang tepat, persoalan yang membebankan rakyat dapat lebih berkurang dan rakyat mudah mengatakan sebagai pemimpin yang efektif dan memuaskan.
John Gardner, 1990. On Leadership. New York: The Free Press
Locke, 1997. Esensi Kepemimpinan (terjemahan), Jakarta: Penerbit Mitra Utama.
Buchori, 1994. Transformasi, Suksesi Demokrasi, Jakarta: IKIP Muhammadiyah Jakarta Press.
Lihat Samidjo, 1999, Kepemimpinan Kepala Sekolah: tinjauan teoritik dan permasalahannya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Burn, J.M., 1978. Leadership, New York: Harper & Row.
Bass, B.M. and Avolio, B.J. (1990). The Implications of Transactional and Transformational Leadership for Individual, Team, and Organizational Development, Research in Organizational Change and Development, 4, 231-272.
Lihat Fandy Tjiptono dan Ahmad Syakhroza, 1999, Kepemimpinan Transformasional, dalam Jurnal Manajemen dan Usahawan Indonesia, No.9 Thn.XXVIII, Edisi September 1999, hal.3-5.
Lihat Frans. M. Hartanto, 1991, Peran Kepemimpinan Transformasional dalam Upaya Peningkatan Produktifitas Tenaga Kerja di Indonesia, Makalah Seminar Departemen Tenaga Kerja 1991, Jakarta.
Locke, 1997, op.cit.
Ibid
Fandy dkk, 1999, op.cit.
Untuk memperingati dirgahayu Indonesia yang ke 63 ini saya akan mencoba mencurahkan Pikiran-pikiran dan catatan kecil menjadi sebuah tulisan yang mungkin menarik bagi kita, hanya sedikit yang saya tahu untuk berbagi solusi dalam masa transisi demokrasi yang kita perjuangkan ini.
Dalam literatur-literatur kepemimpinan, setiap pengarang maupun para kulitinta umumnya mengajukan pengertian tersendiri tentang konsep kepemimpinan. Locke mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu proses “membujuk” (inducing) orang-orang lain menuju sasaran bersama. Definisi ini mencakup tiga elemen yakni bahwa:
1. Kepemimpinan merupakan suatu konsep relasi (relational concept). Kepemimpinan
hanya ada dalam proses relasi dengan orang lain (para pengikut). Apabila tidak ada pengikut, maka tidak ada pemimpin. Dalam definisi ini juga tersirat suatu premis bahwa para pemimpin yang efektif harus mengetahui bagaimana membangkitkan inspirasi dan ber-relasi dengan para pengikut mereka.
2. Kepemimpinan merupakan suatu proses. Agar bisa memimpin, pemimpin harus melakukan sesuatu. John Gardner yang telah mengobservasi selama dalam kurun waktu dua tahun (1986-1988), menemukan bahwa kepemimpinan lebih dari sekedar menduduki suatu otoritas. Kendati posisi otoritas yang diformalkan mungkin sangat mendorong proses kepemimpinan, namun sekedar menduduki posisi itu tidak merupakan tanda seseorang untuk menjadi pemimpin.
3. Kepemimpinan harus “membujuk” orang lain untuk mengambil tindakan. Pemimpin membujuk pengikutnya melalui berbagai cara seperi menggunakan otoritas yang terlegitimasi, menciptakan model (menjadi teladan), penetapan sasaran, memberi imbalan dan hukuman, restrukturisasi organisasi dan mengkomunikasikan misi dan visinya.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka pengertian pemimpin yang efektif dalam hubungannya dengan pengikut (bawahannya) adalah pemimpin yang mampu meyakinkan mereka bahwa kepentingan pribadi dari bawahan adalah visi pemimpin, serta mampu meyakinkan bahwa mereka mempunyai andil dalam mengimplementasikannya.
Selanjutnya, menurut fungsinya, kepemimpinan dilaksanakan oleh dua jenis pemimpin yang saling berbeda, yaitu manager dan leader. Manager adalah pemimpin yang mengusahakan agar proses-proses rutin dalam lembaga berjalan lancar. Leader adalah pemimpin yang mengusahakan agar lembaga dan orang-orang yang ada di dalamnya memperbarui dirinya secara terus menerus, agar tidak ketinggalan jaman. Manager lebih banyak berperan sebagai stabilisator dalam suatu lembaga atau masyarakat, sedangkan leader lebih banyak berperan sebagai dinamisator dan inovator. Birokrat pada dasarnya manager, sedangkan teknokrat pada dasarnya leader.
Kepemimpinan merupakan salah satu fungsi manajemen yang sangat penting dalam rangka pencapaian tujuan organisasi. Terdapat banyak definisi tentang kepemimpinan yang sangat sulit untuk dirangkum menjadi satu dan bersifat menyeluruh. Dari banyaknya definisi yang ada, Samidjo menyimpulkan bahwa terdapat kesamaan asumsi dari kepemimpinan, yaitu: (a) suatu fenomena kelompok yang melibatkan interaksi antara dua orang atau lebih; dan (b) di dalamnya melibatkan proses mempengaruhi, dimana pengaruh yang sengaja (intentional influence) digunakan oleh pemimpin terhadap bawahannya.
Model kepemimpinan tidak hanya berlaku pada skala yang besar misalnya dalam negara, melainkan dapat ditemukan pada lingkup yang lebih kecil, misalnya dalam sekolah, organisasi sosial bahkan dalam skala individu. Model kepemimpinan seperti tirani, manipulatif, transaksional maupun transformasional sebenarnya dapat kita lihat sehari-hari di berbagai lingkungan sosial, baik formal maupun informal. Khusus dalam konteks kepemimpinan transformasional, model kepemimpinan ini dapat ditemukan dalam lingkungan sosial (baca: termasuk sekolah) dimana seorang pemimpin dalam skala kecil berusaha membimbing bawahan-bawahannya melalui keteladanan (contoh yang baik). Dengan demikian, sepanjang sejarah kehidupan manusia selalu akan ditemukan tiran besar dan tiran kecil, pemimpin manipulator besar dan manipulator kecil, dan akhirnya terdapat pula pemimpin transformasional besar kelas dunia, negara dan transformasional kecil kelas kepala sekolah, bahkan pada tataran keluarga, bahkan perorangan.
Meskipun terdapat empat model kepemimpinan yakni tirani, manipulatif, transaksional, dan transformasional; namun model kepemimpinan terakhirlah yang paling cocok diadopsi dalam pola pengelolaan suatu lembaga pada masa transisi, seperti misalnya pada kepemimpinan revolusi negara , juga saat transisi demokrasi negara kita pasca jatuhnya Soeharto. Hal ini dikarenakan model kepemimpinan transformasional dalam transisi demokrasi diyakini dapat menjawab tantangan kebutuhan sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada karena ia bersifat terbuka kepada setiap pembaharuan menuju ke arah peningkatan mutu menjadi lebih baik peningkatan dibidang ekonomi, politik, pendidikan dan lain-lain .
Lingkup Kepemimpinan Transformasional
Teori kepemimpinan transformasional sebenarnya lebih daripada model pendekatan dimana situasi perubahan bagian dari momentum transisi demokrasi. Meskipun tidak semuanya sama secara teori dalam setiap situasi politik, akan tetapi bagian dari salah satu pendekatan situasi transisi yang membuaka ruang public terlibat didalamnya. Gagasan awal model kepemimpinan ini dikembangkan oleh James McGregor Burns yang menerapkannya dalam konteks politik dan selanjutnya dikembangkan penerapannya ke dalam konteks organisasional oleh Bernard Bass . Dalam upaya pengenalan secara mendalam tentang model kepemimpinan transformasional ini, Bass mengemukakan adanya model kepemimpinan transaksional yakni kepemimpinan yang memelihara atau melanjutkan status quo. Kepemimpinan model ini juga didefinisikan sebagai kepemimpinan yang melibatkan suatu proses pertukaran (exchange process) dimana para pengikut mendapat imbalan yang segera dan nyata untuk melakukan perintah-perintah pemimpinnya.
Perhatian orang pada kepemimpinan didalam proses perubahan (management of change) mulai muncul ketika orang mulai menyadari bahwa pendekatan mekanistik yang selama ini digunakan untuk menjelaskan fenomena perubahan itu ternyata seringkali bertentangan dengan anggapan bahwa perubahan itu justru menjadikan tempat kerja itu lebih manusiawi. Kalau kita lihat proses politik USA dalam pemilihan Presiden yang akan di selenggarakan pada bulan November 2008, dimana isu perubahan menjadi sangat menarik dan bahkan lebih dari proses politik paling besar, karena kekuatan kedua partai antara partai demokrat dan partai republic telah berada dalam benturan nilai. Perubahan sebagai mascot kampanyae Obama yang mana Obama mengambil bagian dalam perebutan presiden yang akan datang, Obama dengan slogannya perubahan harus berhadapan dengan kelompok konserfative yang mendukung John McCain dari partai republik.
Menurut Bass, didalam merumuskan proses perubahan biasanya digunakan pendekatan transformasional yang manusiawi, dimana lingkungan kerja yang partisipatif, peluang untuk mengembangkan kepribadian dan keterbukaan dianggap sebagai kondisi yang melatar belakangi proses tersebut. Akan tetapi didalam prakteknya, proses perubahan itu dijalankan dengan bertumpu pada pendekatan transaksional yang mekanistik dan dan bersifat teknikal, dimana manusia cenderung dipandang sebagai suatu entiti ekonomik yang siap untuk dimanipulasi dengan menggunakan sistim imbalan dan umpan balik negatif dalam rangka mencapai manfaat ekonomi yang sebesar-besarnya.
Oleh karena itu, model kepemimpinan transformasional justru adalah kepemimpinan yang dipertentangkan dengan kepemimpinan yang memelihara status quo tersebut. Model kepemimpinan transformasional inilah yang sungguh-sungguh merupakan kepemimpinan sejati karena model kepemimpinan ini sungguh-sungguh bekerja menuju sasaran pada tingkatan mengarahkan organisasi kepada suatu tujuan yang tidak pernah diraih sebelumnya. Para pemimpin secara riil harus mampu mengarahkan organisasi menuju arah yang baru. Dengan demikian model kepemimpinan transformasional didefinisikan sebagai kepemimpinan yang melibatkan perubahan dalam organisasi. Kepemimpinan model ini membutuhkan tindakan memotivasi para bawahan agar bersedia bekerja demi sasaran-sasaran “tingkat tinggi” yang dianggap melampaui kepentingan pribadinya saat itu.
Dengan model kepemimpinan transformasional dalam transisi demokrasi, seorang pemimpin bisa berhasil mengubah status quo dalam organisasinya dengan cara mempraktekkan perilaku yang sesuai dengan setiap tahapan proses transformasi. Apabila cara-cara lama dinilai sudah tidak lagi sesuai, maka sang pemimpin akan menyusun visi baru mengenai masa depan dengan fokus strategik dan motivasional. Visi tersebut menyatakan dengan tegas tujuan organisasi dan sekaligus berfungsi sebagai sumber inspirasi dan komitmen. Secara demikian, acuan dimensi-dimensi perilaku kepemimpinan transformasional didefinisikan sebagai rujukan dimensi perilaku kepemimpinan yang menghasilkan keputusan dan kebijakan terhadap bawahannya, yang merupakan cerminan dari unsur-unsur kharisma, kepekaan terhadap keunikan per-individu, dan orientasi stimulasi intelektual.
Pola kepemimpinan transformasional dalam transisi demokrasi dalam kegiatan sehari-hari dapat diimplementasikan melalui perilaku yang mencerminkan sikap-sikap dari tiga unsur yakni kharisma, kepekaan individu, dan stimulasi intelektual. Kegagalan pemimpin kita karena kurangnya kepekaan dalam merespon Hal-hal yang kecil dalam kehidupan masyarakat, bukan hanya presiden yang harus menggunakan pendekatan transformasi kepemimpinan akan tetapi juga kabinetnya juga harus lebih peka terhadap setiap bagian kehidupan rakyat. Kalau presiden mampu membaca dan melakukan hal-hal yang tepat, persoalan yang membebankan rakyat dapat lebih berkurang dan rakyat mudah mengatakan sebagai pemimpin yang efektif dan memuaskan.
John Gardner, 1990. On Leadership. New York: The Free Press
Locke, 1997. Esensi Kepemimpinan (terjemahan), Jakarta: Penerbit Mitra Utama.
Buchori, 1994. Transformasi, Suksesi Demokrasi, Jakarta: IKIP Muhammadiyah Jakarta Press.
Lihat Samidjo, 1999, Kepemimpinan Kepala Sekolah: tinjauan teoritik dan permasalahannya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Burn, J.M., 1978. Leadership, New York: Harper & Row.
Bass, B.M. and Avolio, B.J. (1990). The Implications of Transactional and Transformational Leadership for Individual, Team, and Organizational Development, Research in Organizational Change and Development, 4, 231-272.
Lihat Fandy Tjiptono dan Ahmad Syakhroza, 1999, Kepemimpinan Transformasional, dalam Jurnal Manajemen dan Usahawan Indonesia, No.9 Thn.XXVIII, Edisi September 1999, hal.3-5.
Lihat Frans. M. Hartanto, 1991, Peran Kepemimpinan Transformasional dalam Upaya Peningkatan Produktifitas Tenaga Kerja di Indonesia, Makalah Seminar Departemen Tenaga Kerja 1991, Jakarta.
Locke, 1997, op.cit.
Ibid
Fandy dkk, 1999, op.cit.
Comments
(Nur hady)