Sanksi Sosial bagi Koruptor Harus secara Alamiah
JAKARTA, KAMIS - Untuk menekan korupsi makin marak di negeri ini, masyarakat bisa mengembangkan sanksi sosial bagi koruptor, seperti mengucilkan dan mempermalukan mereka. Namun, pemberlakuan sanksi sosial bagi koruptor dan keluarganya itu harus dijalankan secara alamiah. Korupsi harus dijadikan aib masyarakat.
Sanksi sosial dapat dilaksanakan setelah sanksi pidana bagi pelaku korupsi dituntaskan melalui pengadilan. Demikian diungkapkan sosiolog dari Universitas Indonesia, Tamrin Amal Tomagola, Rabu (23/7) di Jakarta.
Sejumlah ulama, beberapa waktu lalu, menyerukan agar tak mendoakan pelaku korupsi yang meninggal dunia. Pascaterungkapnya skandal penyuapan di Kejaksaan Agung, sejumlah pegawai kejaksaan pun mengaku malu jika memakai seragam mereka. Masyarakat di sekitar juga sering mempertanyakan ”kinerja” kejaksaan.
Tamrin menegaskan, penerapan sanksi sosial tak bisa dipaksakan. Sanksi sosial yang diserukan tokoh informal di lingkungan sekitar lebih efektif. ”Setiap lingkungan punya mekanisme sendiri untuk mengungkapkan ketidaksukaannya kepada seseorang yang berbuat salah,” ujarnya.
Sanksi sosial yang paling berat adalah pengucilan pelaku korupsi dari kehidupan sosial. ”Masyarakat umumnya menghindari mempermalukan orang di depan umum. Namun, masyarakat meski di depan pelaku korupsi bersikap baik, tetapi di belakang mereka menolaknya,” kata Tamrin.
Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johan Budi SP, Rabu, menambahkan, penangkapan terhadap tersangka pelaku korupsi adalah langkah untuk membuat jera. KPK tidak pernah memikirkan mempermalukan seseorang yang diduga melakukan korupsi.
Rasa malu, kata Johan, mungkin akan timbul sebagai dampak sosial dari penangkapan atas diri seseorang. Namun, itu bukan tujuan KPK. Demikian juga dengan pemutaran rekaman pembicaraan antara terdakwa dan orang lain juga bukan dilakukan untuk mempermalukan.
Momentum Pemilu 2009
Ahli hukum Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, di Yogyakarta menyatakan, masyarakat bisa memanfaatkan momentum Pemilu 2009 untuk menekan korupsi di negeri ini. Sebab itu, rakyat harus memilih calon yang jujur, bukan politisi busuk.
Anggota Komisi II DPR, Agus Condro Prayitno, Rabu, meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan contoh percepatan penyidikan korupsi. Jangan terlalu lama menahan izin pemeriksaan terhadap tersangka korupsi. (mzw/jos/ana/dik)
Sumber: Kompas Kamis, 24 Juli 2008
JAKARTA, KAMIS - Untuk menekan korupsi makin marak di negeri ini, masyarakat bisa mengembangkan sanksi sosial bagi koruptor, seperti mengucilkan dan mempermalukan mereka. Namun, pemberlakuan sanksi sosial bagi koruptor dan keluarganya itu harus dijalankan secara alamiah. Korupsi harus dijadikan aib masyarakat.
Sanksi sosial dapat dilaksanakan setelah sanksi pidana bagi pelaku korupsi dituntaskan melalui pengadilan. Demikian diungkapkan sosiolog dari Universitas Indonesia, Tamrin Amal Tomagola, Rabu (23/7) di Jakarta.
Sejumlah ulama, beberapa waktu lalu, menyerukan agar tak mendoakan pelaku korupsi yang meninggal dunia. Pascaterungkapnya skandal penyuapan di Kejaksaan Agung, sejumlah pegawai kejaksaan pun mengaku malu jika memakai seragam mereka. Masyarakat di sekitar juga sering mempertanyakan ”kinerja” kejaksaan.
Tamrin menegaskan, penerapan sanksi sosial tak bisa dipaksakan. Sanksi sosial yang diserukan tokoh informal di lingkungan sekitar lebih efektif. ”Setiap lingkungan punya mekanisme sendiri untuk mengungkapkan ketidaksukaannya kepada seseorang yang berbuat salah,” ujarnya.
Sanksi sosial yang paling berat adalah pengucilan pelaku korupsi dari kehidupan sosial. ”Masyarakat umumnya menghindari mempermalukan orang di depan umum. Namun, masyarakat meski di depan pelaku korupsi bersikap baik, tetapi di belakang mereka menolaknya,” kata Tamrin.
Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johan Budi SP, Rabu, menambahkan, penangkapan terhadap tersangka pelaku korupsi adalah langkah untuk membuat jera. KPK tidak pernah memikirkan mempermalukan seseorang yang diduga melakukan korupsi.
Rasa malu, kata Johan, mungkin akan timbul sebagai dampak sosial dari penangkapan atas diri seseorang. Namun, itu bukan tujuan KPK. Demikian juga dengan pemutaran rekaman pembicaraan antara terdakwa dan orang lain juga bukan dilakukan untuk mempermalukan.
Momentum Pemilu 2009
Ahli hukum Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, di Yogyakarta menyatakan, masyarakat bisa memanfaatkan momentum Pemilu 2009 untuk menekan korupsi di negeri ini. Sebab itu, rakyat harus memilih calon yang jujur, bukan politisi busuk.
Anggota Komisi II DPR, Agus Condro Prayitno, Rabu, meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan contoh percepatan penyidikan korupsi. Jangan terlalu lama menahan izin pemeriksaan terhadap tersangka korupsi. (mzw/jos/ana/dik)
Sumber: Kompas Kamis, 24 Juli 2008
Comments