Oleh:IksanHb
Secara umum di dalam pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden, hasil dari proses politik dalam PILKADA - PILPRES kurang mengembirakan dan bahkan cenderung mengecewakan. Koalisi yang dibangun sebagian besar karena dorongan kepentingan pribadi demi memenuhi tarjet yang di inginkan, bahkan sebagian besar pemilih menilai tidak mengembirakan hasil pemilihan baik yang memenangkan itu dari calon yang diusung partai lama maupun calon dari partai baru. Idealisme seseorang maupun dalam partai politik sering kali harus bertabrakan dengan pragmatism.
Persoalan besar dalam proses pemilihan kepala daerah maupun presiden adalah suatu permasalahan yang selalu terjadi di sepanjang proses politik ditanah air bahkan di dunia politik. Kondisi kondisi ideal yang dikeluarkan dan dibangun oleh segala pemikiran pemikiran (ide-ide) idealisme seringkali tidak sesuai dengan realitas, salah satunya kasus-kasus yang berhubungan dengan politik praktis.
Dalam setiap peristiwa politik malahan, salah satu peserta pemilih dalam memberikan suaranya mendasarkan kemampuan keuangan, populeritas (cakep dan tidak cakep), koalisi atas berbagi kekuasaan dll. Kebingungan bagi pemilih pemula dan pemilih awam menjadi tidak terarah pada agenda atau program calon kontestan, situasi seperti ini akan memungkinkan kekacauan didalam pendidikan politik kewarganegaraan. Pemilihan saat ini menjadi tidak relefan dan bahkan tidak adanya progress politik setelah reformasi.
Gelombang pemilih yang tidak stabil atau terjadinya pasang surut dukung terhadap kandidat, akan terombang ambing oleh kesepakatan elit politik (koalisi partai) yang tidak didasari atas ediologi. Pilihan yang tidak didasari oleh kesadaran dan pengetahuan yang cukup, akan sangat mungkin pemilih kandidat yang secara kebetulan mampu menguasai media akan memenangkan pertempuran. Untuk memudahkan pengalihan isu-isu masing-masing kandidat, yang kemudian liar menjadi makanan empuk bagi pemilih yang secara mayoritas pragmatism.
Secara simbolik atau dalam ukuran politik yang didasari oleh ikatan symbolic (emblematic) kelompok tradisional, akan menaruh perhatiannya pada kekuatan pemimpin lokal yang mereka kenal, akan tetapi kelompok ini sekarang sedah terkikis oleh kelompok mayoritas pemilih pragmatism maupun partai politik pragmatism.
Mengapa dalam setiap pemilihan kepala daerah tidak memperoleh hasil pemilihan yang edial ?
Jawaban adalah pragmatisme. Partai–partai politik melihat calon yang mempunyai kekuatan financial maupun popularitas semu dan fanatic dibawah budaya skeptifisme, selalu ada didalam partai pragmatime. Oleh sebab itu sungguhpun mereka sebetulnya sedang memberikan suara dalam kampaye untuk perubahan , pro rakyat miskin, pro buruh yang menghabiskan banyak dukungan, akan tetapi sebagian besar dalam keputusan pilihannya diberikan pada kandidat pro pemerintah karena fasilitasnya dan juga sebagian besar pemilih pragmatis mendukung kandidat yang memanfaatkan populeritasnya atas kekuatan media dan juga kandidat datang atas momentum yang memiliki karismatik semu.
Fakta yang tidak bisa ditutupi bahwa, dalam putaran PILKADA bagi pemilih yang telah memberikan suara kepada seorang kandidat melalui proses koalisi yang dibayangi oleh kesepakatan pragmatism, telah menghasilakan kandidat terpilih tidak sesuai dengan harapan rakyat, tapi lebih daripada bagi-bagi kekuasaan. Dengan ironis, orang –orang pragmatis ini kemudian secara terbuka berbicara tentang kegagalan pemerintahan atau calon sedang menjabat, meskipun sebagian mereka secara total melupakan pemerintah yang sedang berkuasa atas pilihannya, fakta ini pemilih pragmatism menyembunyikan kelemahan kandidat dalam waktu sangat pendek dan bahkan akan membuka ruang atau kesempatan balas dendam.
Pembenaran akan ruang koalisi jangka pendek dan atas dasar pikiran pendek dan pragmatis, bagi partai politik ada dasar pijakannya dimana kesempatan pragmatism partai politik menjadi terbuka. Dalam pemilihan kepala daerah (pilkada), koalisi ini hampir tak terhindarkan. Sebab, Pasal 59 Ayat 2 Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan, pasangan calon peserta pilkada harus didaftarkan oleh partai politik (parpol) atau gabungan parpol yang minimal memiliki 15 persen dari jumlah kursi DPRD atau 15 persen dari jumlah perolehan suara sah dalam pemilu anggota DPRD di daerah itu.
Namun, hingga sekarang, ketentuan dalam UU No 32/2004 itu hampir tak pernah menghasilkan koalisi yang mampu mencapai tujuan, seperti yang diidealkan secara teoretis. Sebaliknya, sering kali justru menimbulkan kerumitan karena dibentuk hanya berdasarkan kepentingan sesaat, misalnya mengantarkan pasangan calon untuk ikut dan memenangi pilkada. (Kompas Sabtu, 12 Juli 2008)
Di mana berfikir strategis menjadi hilang dan mati karena pragmatisme?
Situasi pemilihana kepala daerah maupun pemilihan presiden saat ini adalah membahayakan terhadap filsafat dalam memberikan suara. Seperti itu - pragmatisme hanya baik untuk satu pertempuran untuk kepentingan kelompok atau pribadi- satu moment diantara ribuan momentum untuk pemilihan kepala daerah maupun presiden, misalnya, rakyat tidak memilih seorang ( kucing dalam karung) yang hanya mendapatkan sebungkus SEMBAKO dan memenangkan kandidatnya. Mereka tinggal balaikota atau kantor kepala daerah dan istana selama lima tahun - dan mereka melakukan semua hal yang memungkinkan mereka suka dan tak bertanggung jawab bahwa rakyat berharap mereka tidak akan melakukan, tetapi secara terang-terangan mereka berbuat tidak untuk kesejahteraan rakyat.
Dan pragmatisme adalah tidak strategi –itu adalah bunuh diri. Kematian dengan bergantung atau dengan melompat tidak jauh dari jurang kegelapan?
Ketulusan strategi, di atas pragmatism yang sangat membahayakan secara fundamental, itu karena memperhitungkan kemenangan dalam setiap bentukan koalisi dan atau akan kehilangan total di masing-masing pertempuran pemilihan, dan percobaan untuk mendapat kemenangan di akhir pertarungan dengan hitungan atau luapan suara prustrasi (kuda hitam) tidak selalu memenangkan pertarungan. Korban koalisi maupun pemilih pragmatism secara terorganisir sangat membahayakan proses demokratisasi dan reformasi politik.
Motivasi pragmatisme adalah sebuah keserakahan dan ketakutan
Apakah orang yang pragmatis itu takut? Ya. Mereka macet di setiap argumennya atas pilihannya - yang dikembangkan oleh partai A maupun B - bahwa momentum itu adalah pertempuran yang menegaskan di antara kedua pihak untuk main mata. Mereka dan pemikir mereka akan mengatakan kompromi itu esensial, karena tidak adanya keadilan (balas dendam untuk mendapatkan keuntungan jangka pendek). Itu adalah Jantung pragmatisme terbuka.
Keterbatasan bagi pemilih dan partai politik memahami dan mengerti kebebasan press, hak sipil, hak politik, hak ekonomi dan hak-hak dasar lainnya akan mempersulit dalam memutuskan pilihannya terhadap kandidat. Karena itu kelompok-kelompok yang secara individu maupun secara lembaga dengan aktif melakukan pendidikan kewarganegaraan maupun politik menjadi berhadapan dengan kelompok-kelompok pragmatis. Ketakutan kelompok pragmatis ini menjadi rusaknya proses politik yangsehat dan demokratis.
Secara umum di dalam pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden, hasil dari proses politik dalam PILKADA - PILPRES kurang mengembirakan dan bahkan cenderung mengecewakan. Koalisi yang dibangun sebagian besar karena dorongan kepentingan pribadi demi memenuhi tarjet yang di inginkan, bahkan sebagian besar pemilih menilai tidak mengembirakan hasil pemilihan baik yang memenangkan itu dari calon yang diusung partai lama maupun calon dari partai baru. Idealisme seseorang maupun dalam partai politik sering kali harus bertabrakan dengan pragmatism.
Persoalan besar dalam proses pemilihan kepala daerah maupun presiden adalah suatu permasalahan yang selalu terjadi di sepanjang proses politik ditanah air bahkan di dunia politik. Kondisi kondisi ideal yang dikeluarkan dan dibangun oleh segala pemikiran pemikiran (ide-ide) idealisme seringkali tidak sesuai dengan realitas, salah satunya kasus-kasus yang berhubungan dengan politik praktis.
Dalam setiap peristiwa politik malahan, salah satu peserta pemilih dalam memberikan suaranya mendasarkan kemampuan keuangan, populeritas (cakep dan tidak cakep), koalisi atas berbagi kekuasaan dll. Kebingungan bagi pemilih pemula dan pemilih awam menjadi tidak terarah pada agenda atau program calon kontestan, situasi seperti ini akan memungkinkan kekacauan didalam pendidikan politik kewarganegaraan. Pemilihan saat ini menjadi tidak relefan dan bahkan tidak adanya progress politik setelah reformasi.
Gelombang pemilih yang tidak stabil atau terjadinya pasang surut dukung terhadap kandidat, akan terombang ambing oleh kesepakatan elit politik (koalisi partai) yang tidak didasari atas ediologi. Pilihan yang tidak didasari oleh kesadaran dan pengetahuan yang cukup, akan sangat mungkin pemilih kandidat yang secara kebetulan mampu menguasai media akan memenangkan pertempuran. Untuk memudahkan pengalihan isu-isu masing-masing kandidat, yang kemudian liar menjadi makanan empuk bagi pemilih yang secara mayoritas pragmatism.
Secara simbolik atau dalam ukuran politik yang didasari oleh ikatan symbolic (emblematic) kelompok tradisional, akan menaruh perhatiannya pada kekuatan pemimpin lokal yang mereka kenal, akan tetapi kelompok ini sekarang sedah terkikis oleh kelompok mayoritas pemilih pragmatism maupun partai politik pragmatism.
Mengapa dalam setiap pemilihan kepala daerah tidak memperoleh hasil pemilihan yang edial ?
Jawaban adalah pragmatisme. Partai–partai politik melihat calon yang mempunyai kekuatan financial maupun popularitas semu dan fanatic dibawah budaya skeptifisme, selalu ada didalam partai pragmatime. Oleh sebab itu sungguhpun mereka sebetulnya sedang memberikan suara dalam kampaye untuk perubahan , pro rakyat miskin, pro buruh yang menghabiskan banyak dukungan, akan tetapi sebagian besar dalam keputusan pilihannya diberikan pada kandidat pro pemerintah karena fasilitasnya dan juga sebagian besar pemilih pragmatis mendukung kandidat yang memanfaatkan populeritasnya atas kekuatan media dan juga kandidat datang atas momentum yang memiliki karismatik semu.
Fakta yang tidak bisa ditutupi bahwa, dalam putaran PILKADA bagi pemilih yang telah memberikan suara kepada seorang kandidat melalui proses koalisi yang dibayangi oleh kesepakatan pragmatism, telah menghasilakan kandidat terpilih tidak sesuai dengan harapan rakyat, tapi lebih daripada bagi-bagi kekuasaan. Dengan ironis, orang –orang pragmatis ini kemudian secara terbuka berbicara tentang kegagalan pemerintahan atau calon sedang menjabat, meskipun sebagian mereka secara total melupakan pemerintah yang sedang berkuasa atas pilihannya, fakta ini pemilih pragmatism menyembunyikan kelemahan kandidat dalam waktu sangat pendek dan bahkan akan membuka ruang atau kesempatan balas dendam.
Pembenaran akan ruang koalisi jangka pendek dan atas dasar pikiran pendek dan pragmatis, bagi partai politik ada dasar pijakannya dimana kesempatan pragmatism partai politik menjadi terbuka. Dalam pemilihan kepala daerah (pilkada), koalisi ini hampir tak terhindarkan. Sebab, Pasal 59 Ayat 2 Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan, pasangan calon peserta pilkada harus didaftarkan oleh partai politik (parpol) atau gabungan parpol yang minimal memiliki 15 persen dari jumlah kursi DPRD atau 15 persen dari jumlah perolehan suara sah dalam pemilu anggota DPRD di daerah itu.
Namun, hingga sekarang, ketentuan dalam UU No 32/2004 itu hampir tak pernah menghasilkan koalisi yang mampu mencapai tujuan, seperti yang diidealkan secara teoretis. Sebaliknya, sering kali justru menimbulkan kerumitan karena dibentuk hanya berdasarkan kepentingan sesaat, misalnya mengantarkan pasangan calon untuk ikut dan memenangi pilkada. (Kompas Sabtu, 12 Juli 2008)
Di mana berfikir strategis menjadi hilang dan mati karena pragmatisme?
Situasi pemilihana kepala daerah maupun pemilihan presiden saat ini adalah membahayakan terhadap filsafat dalam memberikan suara. Seperti itu - pragmatisme hanya baik untuk satu pertempuran untuk kepentingan kelompok atau pribadi- satu moment diantara ribuan momentum untuk pemilihan kepala daerah maupun presiden, misalnya, rakyat tidak memilih seorang ( kucing dalam karung) yang hanya mendapatkan sebungkus SEMBAKO dan memenangkan kandidatnya. Mereka tinggal balaikota atau kantor kepala daerah dan istana selama lima tahun - dan mereka melakukan semua hal yang memungkinkan mereka suka dan tak bertanggung jawab bahwa rakyat berharap mereka tidak akan melakukan, tetapi secara terang-terangan mereka berbuat tidak untuk kesejahteraan rakyat.
Dan pragmatisme adalah tidak strategi –itu adalah bunuh diri. Kematian dengan bergantung atau dengan melompat tidak jauh dari jurang kegelapan?
Ketulusan strategi, di atas pragmatism yang sangat membahayakan secara fundamental, itu karena memperhitungkan kemenangan dalam setiap bentukan koalisi dan atau akan kehilangan total di masing-masing pertempuran pemilihan, dan percobaan untuk mendapat kemenangan di akhir pertarungan dengan hitungan atau luapan suara prustrasi (kuda hitam) tidak selalu memenangkan pertarungan. Korban koalisi maupun pemilih pragmatism secara terorganisir sangat membahayakan proses demokratisasi dan reformasi politik.
Motivasi pragmatisme adalah sebuah keserakahan dan ketakutan
Apakah orang yang pragmatis itu takut? Ya. Mereka macet di setiap argumennya atas pilihannya - yang dikembangkan oleh partai A maupun B - bahwa momentum itu adalah pertempuran yang menegaskan di antara kedua pihak untuk main mata. Mereka dan pemikir mereka akan mengatakan kompromi itu esensial, karena tidak adanya keadilan (balas dendam untuk mendapatkan keuntungan jangka pendek). Itu adalah Jantung pragmatisme terbuka.
Keterbatasan bagi pemilih dan partai politik memahami dan mengerti kebebasan press, hak sipil, hak politik, hak ekonomi dan hak-hak dasar lainnya akan mempersulit dalam memutuskan pilihannya terhadap kandidat. Karena itu kelompok-kelompok yang secara individu maupun secara lembaga dengan aktif melakukan pendidikan kewarganegaraan maupun politik menjadi berhadapan dengan kelompok-kelompok pragmatis. Ketakutan kelompok pragmatis ini menjadi rusaknya proses politik yangsehat dan demokratis.
Comments