oleh : Martin Sihombing
Ancaman krisis pangan menghinggapi Indonesia. Sebagai bentuk tanggung jawab, berbagai upaya mencegah krisis, digelar. Semua dilakukan agar produksi komoditas pangan terutama beras, tidak berhenti atau berkurang.
Belum lama ini, misalnya, Food and Agriculture Organization (FAO) mengungkapkan 36 negara mengalami krisis pangan akibat naiknya harga sejumlah komoditas pangan.
Laporan FAO pada Februari lalu mengungkap Indonesia menjadi salah satu negara yang terancam mengalami krisis pangan. Krisis pangan yang dialami Indonesia selain karena kenaikan harga pangan, diperparah dengan adanya banjir, gempa, dan longsor.
Indonesia berdasarkan laporan Global Information and Early Warning System FAO termasuk negara-negara yang membutuhkan bantuan negara luar dalam mengatasi krisis itu.
Negara di Afrika yang krisis pangan a.l. Lesotho, Somalia, Swaziland, Zimbabwe, Eritrea, Liberia, Mauritania, Sierra Leone, Burundi, Republik Afrika Tengah, Chad, Kongo, Pantai Gading, Ethiopia, Ghana, Guinea, Guinea-Bissau, Kenya, Sudan, dan Uganda. Krisis itu, sebagian besar, akibat perang saudara, masalah pengungsi dan kekeringan.
Adapun di Asia, negara yang mengalami krisis pangan a.l. Irak, Afghanistan, Korea Utara, Bangladesh, Nepal, Pakistan, Sri Lanka, dan Timor-Leste. Indonesia juga. Penyebab krisis pangan di negara Asia sebagian besar banjir dan gempa.
Di Amerika Latin-Bolivia, Haiti, Nikaragua dan Republik Dominika-mengalami banjir. Di Eropa Republik Moldova dan Federasi Rusia juga mengalami krisis pangan. Di Moldova, krisis pangan terjadi akibat kekeringan.
"Dalam Millennium Development Goals, kelaparan, malnutrisi menjadi aspek yang terabaikan, mendapat sedikit perhatian. Padahal, kenaikan harga pangan tidak hanya mengancam manusia, Tetapi juga mengancam kestabilan politik dan ini harus mendapat perhatian serius," ujar Presiden Bank Dunia Robert Zoellick seperti dikutip situs Bank Dunia.
Melonjaknya harga pangan akibat sejumlah persoalan. Namun, yang paling utama adalah kenaikan harga energi dan harga pupuk, kenaikan permintaan komoditas pangan karena substitusi energi biofuel serta kekeringan di Australia dan negara lain.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan krisis pangan di Indonesia, yang dapat mengancam perekonomian, adalah gejala dunia, bukan khas Indonesia.
Indonesia harus berbuat. Misalnya, penambahan produksi hingga 2 juta ton untuk memperbesar subsidi pupuk sehingga tidak perlu menaikkan harga eceran tertinggi (HET) pupuk bersubsidi.
Namun, yang menjadi perhatian kita adalah sikap pemerintah yang mengatakan semua investasi di sektor pangan (food estated) akan difasilitasi untuk mempercepat realisasinya, terutama yang termasuk dalam kategori clean and clear.
Rugikan bangsa
Tindakan Pemerintah Indonesia itu sebuah kewajaran di negeri yang bahan pangannya masih mengandalkan impor. Pasalnya, jika itu tidak teratasi, ketergantungan pada negara lain soal pangan akan menjadi kondisi yang merugikan bagi bangsa ini.
Apalagi, dalam Food Agriculture Organisation Rice Price Index mengungkapkan harga beras antara Desember 2007 dan April 2008 seperti skyrocketed, naik hingga 76%.
Rekor harga itu pun masih akan terus berlanjut karena stok ekspor tergerus. Ditambah lagi, negara net importer beras kembali ke pasar untuk membeli beras seperti Iran, Arab Saudi, Nigeria dan Senegal. Harga diperkirakan semakin ekstrem paling tidak hingga 2008.
Di tengah upaya mengantisipasi krisis pangan dengan mendorong investor swasta besar, pemerintah jangan mengulangi kasus masa lalu.
Misalnya, seperti dikatakan tokoh Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih, krisis pangan dahulu disebabkan oleh kebijakan dan praktik yang menyerahkan urusan pangan kepada pasar (Letter of Intent IMF 1998) dan mekanisme perdagangan pertanian yang ditentukan oleh perdagangan bebas (Agreement on Agriculture WTO 1995).
Akibatnya, negara dikooptasi menjadi antek perdagangan bebas. Negara ini pun melakukan upaya liberalisasi terhadap hal yang harusnya merupakan state obligation terhadap rakyat.
Ya. Market access Indonesia pun dibuka lebar, bahkan hingga 0% seperti kedelai (1998, 2008) dan beras (1998), sementara domestic subsidy untuk petani kita terus berkurang (tanah, irigasi, pupuk, bibit, teknologi dan insentif harga). Di sisi lain, export subsidy dari negara overproduksi pangan seperti AS dan Uni Eropa-beserta perusahaan-perusahaannya-malah meningkat. Indonesia pun dibanjiri barang pangan murah, sehingga pasar dan harga domestik kita hancur (1995 hingga kini). Hal ini jelas membunuh petani kita.
Begitu pun dalam deregulasi. Beberapa kebijakan sangat dipermudah untuk perusahaan besar yang mengalahkan pertanian rakyat. Seperti contoh UU No. 1/1967 tentang PMA, UU No. 4/2004 tentang Sumber Daya Air, Perpres 36 dan 65/2006, UU No. 18/2003 Tentang Perkebunan, dan yang termutakhir UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal.
Dengan kemudahan regulasi ini, upaya privatisasi menuju monopoli atau kartel di sektor pangan semakin terbuka. Karena itu, upaya untuk mendorong investor besar masuk ke sektor pangan, tidak justru mendorong mereka bertarung (head to head) dengan petani, yang miskin dan tidak berpendidikan. (martin.sihombing@bisnis.co.id)
Sumber: bisnis.com Selasa, 24/06/2008 11:17 WIB
Ancaman krisis pangan menghinggapi Indonesia. Sebagai bentuk tanggung jawab, berbagai upaya mencegah krisis, digelar. Semua dilakukan agar produksi komoditas pangan terutama beras, tidak berhenti atau berkurang.
Belum lama ini, misalnya, Food and Agriculture Organization (FAO) mengungkapkan 36 negara mengalami krisis pangan akibat naiknya harga sejumlah komoditas pangan.
Laporan FAO pada Februari lalu mengungkap Indonesia menjadi salah satu negara yang terancam mengalami krisis pangan. Krisis pangan yang dialami Indonesia selain karena kenaikan harga pangan, diperparah dengan adanya banjir, gempa, dan longsor.
Indonesia berdasarkan laporan Global Information and Early Warning System FAO termasuk negara-negara yang membutuhkan bantuan negara luar dalam mengatasi krisis itu.
Negara di Afrika yang krisis pangan a.l. Lesotho, Somalia, Swaziland, Zimbabwe, Eritrea, Liberia, Mauritania, Sierra Leone, Burundi, Republik Afrika Tengah, Chad, Kongo, Pantai Gading, Ethiopia, Ghana, Guinea, Guinea-Bissau, Kenya, Sudan, dan Uganda. Krisis itu, sebagian besar, akibat perang saudara, masalah pengungsi dan kekeringan.
Adapun di Asia, negara yang mengalami krisis pangan a.l. Irak, Afghanistan, Korea Utara, Bangladesh, Nepal, Pakistan, Sri Lanka, dan Timor-Leste. Indonesia juga. Penyebab krisis pangan di negara Asia sebagian besar banjir dan gempa.
Di Amerika Latin-Bolivia, Haiti, Nikaragua dan Republik Dominika-mengalami banjir. Di Eropa Republik Moldova dan Federasi Rusia juga mengalami krisis pangan. Di Moldova, krisis pangan terjadi akibat kekeringan.
"Dalam Millennium Development Goals, kelaparan, malnutrisi menjadi aspek yang terabaikan, mendapat sedikit perhatian. Padahal, kenaikan harga pangan tidak hanya mengancam manusia, Tetapi juga mengancam kestabilan politik dan ini harus mendapat perhatian serius," ujar Presiden Bank Dunia Robert Zoellick seperti dikutip situs Bank Dunia.
Melonjaknya harga pangan akibat sejumlah persoalan. Namun, yang paling utama adalah kenaikan harga energi dan harga pupuk, kenaikan permintaan komoditas pangan karena substitusi energi biofuel serta kekeringan di Australia dan negara lain.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan krisis pangan di Indonesia, yang dapat mengancam perekonomian, adalah gejala dunia, bukan khas Indonesia.
Indonesia harus berbuat. Misalnya, penambahan produksi hingga 2 juta ton untuk memperbesar subsidi pupuk sehingga tidak perlu menaikkan harga eceran tertinggi (HET) pupuk bersubsidi.
Namun, yang menjadi perhatian kita adalah sikap pemerintah yang mengatakan semua investasi di sektor pangan (food estated) akan difasilitasi untuk mempercepat realisasinya, terutama yang termasuk dalam kategori clean and clear.
Rugikan bangsa
Tindakan Pemerintah Indonesia itu sebuah kewajaran di negeri yang bahan pangannya masih mengandalkan impor. Pasalnya, jika itu tidak teratasi, ketergantungan pada negara lain soal pangan akan menjadi kondisi yang merugikan bagi bangsa ini.
Apalagi, dalam Food Agriculture Organisation Rice Price Index mengungkapkan harga beras antara Desember 2007 dan April 2008 seperti skyrocketed, naik hingga 76%.
Rekor harga itu pun masih akan terus berlanjut karena stok ekspor tergerus. Ditambah lagi, negara net importer beras kembali ke pasar untuk membeli beras seperti Iran, Arab Saudi, Nigeria dan Senegal. Harga diperkirakan semakin ekstrem paling tidak hingga 2008.
Di tengah upaya mengantisipasi krisis pangan dengan mendorong investor swasta besar, pemerintah jangan mengulangi kasus masa lalu.
Misalnya, seperti dikatakan tokoh Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih, krisis pangan dahulu disebabkan oleh kebijakan dan praktik yang menyerahkan urusan pangan kepada pasar (Letter of Intent IMF 1998) dan mekanisme perdagangan pertanian yang ditentukan oleh perdagangan bebas (Agreement on Agriculture WTO 1995).
Akibatnya, negara dikooptasi menjadi antek perdagangan bebas. Negara ini pun melakukan upaya liberalisasi terhadap hal yang harusnya merupakan state obligation terhadap rakyat.
Ya. Market access Indonesia pun dibuka lebar, bahkan hingga 0% seperti kedelai (1998, 2008) dan beras (1998), sementara domestic subsidy untuk petani kita terus berkurang (tanah, irigasi, pupuk, bibit, teknologi dan insentif harga). Di sisi lain, export subsidy dari negara overproduksi pangan seperti AS dan Uni Eropa-beserta perusahaan-perusahaannya-malah meningkat. Indonesia pun dibanjiri barang pangan murah, sehingga pasar dan harga domestik kita hancur (1995 hingga kini). Hal ini jelas membunuh petani kita.
Begitu pun dalam deregulasi. Beberapa kebijakan sangat dipermudah untuk perusahaan besar yang mengalahkan pertanian rakyat. Seperti contoh UU No. 1/1967 tentang PMA, UU No. 4/2004 tentang Sumber Daya Air, Perpres 36 dan 65/2006, UU No. 18/2003 Tentang Perkebunan, dan yang termutakhir UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal.
Dengan kemudahan regulasi ini, upaya privatisasi menuju monopoli atau kartel di sektor pangan semakin terbuka. Karena itu, upaya untuk mendorong investor besar masuk ke sektor pangan, tidak justru mendorong mereka bertarung (head to head) dengan petani, yang miskin dan tidak berpendidikan. (martin.sihombing@bisnis.co.id)
Sumber: bisnis.com Selasa, 24/06/2008 11:17 WIB
Comments