Oleh IksanHb
Ada benang merah terjadinya krisis petani dengan perdagangan bebas dalam hal ini perjanjian yang baru saja terjadi di negara Meksiko dan negara-negara yang tegabung dalam organisasi perdagangan seperti AFTA, NAFTA dan WTO. Sebagaimana contoh di Meksiko sejak Perang Dunia II, dimana negara ini telah mengubah tumpuan dari ekonomi berbasis pertanian ke ekonomi pertambangan. Namun sekarang terjadi kegagalan karena pertanian tidak menjadi basis pertumbuhan ekonomi saja sejak menandatangani Kawasan Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA) sepuluh tahun lalu yang kemudian berlanjut ketegangan atas ditandatanganinya perjanjian pedagangan bebas pada akhir Desember 2007 –dengan butir-butir baru oleh empat negara termasuk Amerika, yang dianggap merugikan petani. Persoalan paling rumit pada kasus Meksiko karena Meksiko tidak tahu harus berbuat apa dengan NAFTA itu pada awalnya dan kemudia menjadi bom waktu. Saya kira kekuatan politik di Meksiko tidak cukup untuk membawa aspirasi kaum petani karena masih dikuasai oleh mayoritas pro Amerika, misalnya mantan presiden Fox adalah teman dekat presiden Bush, dan pada pemilihan presiden tahun lalu dimenangkan oleh teman dekat Presiden Fox yaitu Calderon. Persoalan yang kedua adalah lemahnya kemampuan analisis dalam mengukur kekuatan daya saing, akibatnya ketika China muncul sebagai basis produksi manufaktur paling murah di dunia, maka semua pabrik-pabrik milik AS yang ada di Meksiko hengkang langsung ke China dan tentunya sangat merugikan Meksiko. Keterpurukan Meksiko sebagai akibat dari NAFTA bisa kita simak dari pernyataan politisi Meksiko di bawah ini:
“ancaman serius terhadap ekonomi petani Meksiko, kareana Meksiko mengandalkan komoditas peretanian murah, bahkan kemungkinan pasar USA akan masuk ke Meksiko dan konsumen harus membeli dengan harga tinggi.” (Legislator: NAFTA Bermaksud Mematikan Ekonomi Mexico, 27 Desember, Prensa Latina).
Kemudian apa yang terjadi dalam ketimpangan ini terhadap kuatnya tekanan negara-negara pro perdagangan bebas, seperti cara yang dilakukan petani dan pekerja Meksiko dalam memperjuangkan keinginannya untuk menolak NAFTA, melakukan aksi protes dan melakukan upaya hukum.
Serikat Petani dan buruh Meksiko sedang memprotes dan melakukan tindakan hukum pada Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara, karena menganggapnya sebagai pukulan maut melawan sektor pertanian nasional, tidak bisa bersaing dengan produk-produk yang disubsidi asing.
Memprotes di depan kedutaan besar AS di ibu kota Meksiko pada hari Rabu, sebagaimana juga dengan pemrotes yang lain di negara bagian Chiapas, Guerrero, Puebla, dan Morelos malakukan aksi tersebut, organisasi Dialogo Nacional(Dialog Nasional) menginformasikan.
Selanjutnya, Gereja Katolik memperingatkan dalam pernyataan resmi eliminasi pajak atas subsidi impor jagung, buncis, susu bubuk, dan gula yang mungkin memaksa sangat banyak petani Meksiko untuk meninggalkan tanah mereka.
“Organisasi Aerodinamika Nasional yang berpangkalan di negara bagian Chihuahua sedang menyiapkan karavan traktor yang akan tiba di ibu kota untuk memprotes pengecualian tarif atas biji-bijian, daging, dan susu, yang akan berpengaruh pada produsen lokal.
Para petani sedikitnya lima negara bagian juga akan datang di pengadilan federal hari Senin untuk menuntut perlindungan atas kerugian yang disebabkan oleh NAFTA.” - “Karyawan Meksiko, Gereja Slam NAFTA” 3 Januari (Prensa Latina).
Apa yang perlu dikaji dalam kasus di Meksiko, mengingatkan kita agar Indonesia mengetahui apa sebenarnya kekuatan dan strategi apa yang harus dilakukan berhadapan dengan kompetisi dari China dan negar-negara lain seperti Thailand.
Berbicara tentang perdagangan bebas saat ini banyak orang mengasosiasikan dengan AFTA (Asean Free Trade Area) dan global warming. Apa yang dikhawatirkan orang adalah bahwa saat ini semua aliran barang dan jasa akan bebas sebebas-bebasnya tanpa ada hambatan tarif maupun non-tarif. Apa lagi kita sedang dalam proses sosialisasi UU Agraria dan UU Penanaman Modal yang kemudian ditolak oleh beberapa LSM karena dikhawatirkan akan merugikan pengusaha lokal. Kekhawatiran tersebut muncul karena dengan AFTA orang atau badan usaha boleh bebas berusaha di negara manapun serta bersaing full contact dengan pengusaha lokal tanpa halangan dan perbedaan perlakuan.
Lalu, kehawatiran selanjutnya adalah apakah kita akan siap bersaing seperti itu baik di negeri sendiri maupun lain karena produk pertanian kita sulit masuk ke negara-negara maju. Pengalaman saya ketika saya belanja di toko yang terletak di kota Provo, salah satu distrik di negara bagian Utah yang menyediakan makanan maupun bumbu-bumbu Asia, sangat sedikit sekali produk Indonesia paling-paling permen jahe dari Kabupaten Pasuruan Jawa Timur, kerupuk udang, kecap ABC, Indomie. Pernah saya temukan “bandeng asal Indonesia”, tapi hanya berumur lantas hilang lagi dari peredaran. Kira-kira hanya 0,5% produk Indonesia yang masuk ke Amerika, kecuali mungkin di negara bagian kalifornia sedikit banyak produk Indonesia meski demikian masih lebih banyak produksi dari Thailand, Cina, bahkan Malaysia. Padahal Indonesia mempromosikan diri sebagai negara pertanian dan maritime. Dari segi geografis memang begitu, tapi apakah kekayaan tersebut telah dikelola dengan baik, itu yang menjadi pekerjaan rumah kita.
“ancaman serius terhadap ekonomi petani Meksiko, kareana Meksiko mengandalkan komoditas peretanian murah, bahkan kemungkinan pasar USA akan masuk ke Meksiko dan konsumen harus membeli dengan harga tinggi.” (Legislator: NAFTA Bermaksud Mematikan Ekonomi Mexico, 27 Desember, Prensa Latina).
Kemudian apa yang terjadi dalam ketimpangan ini terhadap kuatnya tekanan negara-negara pro perdagangan bebas, seperti cara yang dilakukan petani dan pekerja Meksiko dalam memperjuangkan keinginannya untuk menolak NAFTA, melakukan aksi protes dan melakukan upaya hukum.
Serikat Petani dan buruh Meksiko sedang memprotes dan melakukan tindakan hukum pada Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara, karena menganggapnya sebagai pukulan maut melawan sektor pertanian nasional, tidak bisa bersaing dengan produk-produk yang disubsidi asing.
Memprotes di depan kedutaan besar AS di ibu kota Meksiko pada hari Rabu, sebagaimana juga dengan pemrotes yang lain di negara bagian Chiapas, Guerrero, Puebla, dan Morelos malakukan aksi tersebut, organisasi Dialogo Nacional(Dialog Nasional) menginformasikan.
Selanjutnya, Gereja Katolik memperingatkan dalam pernyataan resmi eliminasi pajak atas subsidi impor jagung, buncis, susu bubuk, dan gula yang mungkin memaksa sangat banyak petani Meksiko untuk meninggalkan tanah mereka.
“Organisasi Aerodinamika Nasional yang berpangkalan di negara bagian Chihuahua sedang menyiapkan karavan traktor yang akan tiba di ibu kota untuk memprotes pengecualian tarif atas biji-bijian, daging, dan susu, yang akan berpengaruh pada produsen lokal.
Para petani sedikitnya lima negara bagian juga akan datang di pengadilan federal hari Senin untuk menuntut perlindungan atas kerugian yang disebabkan oleh NAFTA.” - “Karyawan Meksiko, Gereja Slam NAFTA” 3 Januari (Prensa Latina).
Apa yang perlu dikaji dalam kasus di Meksiko, mengingatkan kita agar Indonesia mengetahui apa sebenarnya kekuatan dan strategi apa yang harus dilakukan berhadapan dengan kompetisi dari China dan negar-negara lain seperti Thailand.
Berbicara tentang perdagangan bebas saat ini banyak orang mengasosiasikan dengan AFTA (Asean Free Trade Area) dan global warming. Apa yang dikhawatirkan orang adalah bahwa saat ini semua aliran barang dan jasa akan bebas sebebas-bebasnya tanpa ada hambatan tarif maupun non-tarif. Apa lagi kita sedang dalam proses sosialisasi UU Agraria dan UU Penanaman Modal yang kemudian ditolak oleh beberapa LSM karena dikhawatirkan akan merugikan pengusaha lokal. Kekhawatiran tersebut muncul karena dengan AFTA orang atau badan usaha boleh bebas berusaha di negara manapun serta bersaing full contact dengan pengusaha lokal tanpa halangan dan perbedaan perlakuan.
Lalu, kehawatiran selanjutnya adalah apakah kita akan siap bersaing seperti itu baik di negeri sendiri maupun lain karena produk pertanian kita sulit masuk ke negara-negara maju. Pengalaman saya ketika saya belanja di toko yang terletak di kota Provo, salah satu distrik di negara bagian Utah yang menyediakan makanan maupun bumbu-bumbu Asia, sangat sedikit sekali produk Indonesia paling-paling permen jahe dari Kabupaten Pasuruan Jawa Timur, kerupuk udang, kecap ABC, Indomie. Pernah saya temukan “bandeng asal Indonesia”, tapi hanya berumur lantas hilang lagi dari peredaran. Kira-kira hanya 0,5% produk Indonesia yang masuk ke Amerika, kecuali mungkin di negara bagian kalifornia sedikit banyak produk Indonesia meski demikian masih lebih banyak produksi dari Thailand, Cina, bahkan Malaysia. Padahal Indonesia mempromosikan diri sebagai negara pertanian dan maritime. Dari segi geografis memang begitu, tapi apakah kekayaan tersebut telah dikelola dengan baik, itu yang menjadi pekerjaan rumah kita.
Mari kita kaji lebih dalam, apa hubungan antara liberalisasi perdagangan dengan kemiskinan dan pengangguran? Apa kaitan tenaga kerja, buruh tani dengan AFTA? Apa yang akan terjadi pada tahun 2008? Kita sedikit kesulitan untuk menjawab pertanyaan itu, karena kemungkinan jawabannya bersinggungan langsung dengan kebijakan politik pemerintah dan juga berhubungan langsung dengan realitas kehidupan masyarakat Indonesia. Pertama, sebenarnya tidak ada yang sulit dalam menjawab pertanyaan di atas karena keterkaitan yang begitu kuatnya menjadikan liberalisasi perdagangan terus bejalan, satu contoh kasus formalin, dimana kita berhadapan langsung dengan importir Cina dan pemerintah Cina, apa sikap kedua negara tersebut antara pemerintah Cina dan Indonesia. Kita melihat ada sedikit sikap diplomatik meskipun kemudian tidak jelas, lagi-lagi petani tambak kita menjadi alat tawar menawar. Ada beberapa nalar kita yang harus didiskusikan lebih jauh, semoga kita bisa.
Comments
hmmmmmmmmmmm