Ramadhan dan Ethos Pembangunan Manusia Seutuhnya
Oleh: Nur Kafid
Ramadhan adalah bulan ke sembilan dalam hitungan kalender hijriyah. Bulan ini diyakini sebagai bulan yang suci oleh seluruh umat Islam. Bulan ini juga diyakini sebagai bulan berlimpah ruahnya berkah, rahmat, dan juga ampunan dari Sang Pencipta—Allah SWT.
Sebagai bulan yang penuh dengan berkah, rahmat dan ampunan-Nya, maka umat Islam mengisinya dengan berbagai aktifitas kebaikan yang dianjurkan oleh ajaran Islam. Seperti, berpuasa, sholat, berzikir, berdoa memohon ampunan-Nya, membaca kitab suci al-Qur’an, juga berbagai kegiatan amal kebaikan lain yang diyakini akan mendatangkan kebaikan dan pahala. Dalam bulan ini, siapapun yang berbuat kebaikan, maka pahalanya akan dilipatgandakan dari pada perubatan baik pada bulan-bulan yang lainnya. Sehingga bulan ini adalah bulan di mana manusia harus benar-benar menjaga dan memupuk relationship-nya dengan Sang Pencipta—Allah—,sesama dan juga dengan alam sekitarnya.
Salah satu aktifitas dalam bulan ramadhan adalah Puasa. Secara harfiah, puasa bermakna menahan lapar dan dahaga dari waktu sebelum matahari terbit (imsak) sampai dengan waktu setelah matahari terbenam(ifthar). Akan tetapi secara maknawi, puasa mempunya arti lebih mendalam dari pada itu. Puasa berarti merupakan sebuah usaha pendisiplinan dan pengontrolan diri untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang merugikan diri dan sesama makhluk lainnya di muka bumi. Sehingga kemudian puasa juga disebut sebagai jihad al-nafs. Dan sebagaimana menurut Nabi Muhammad SAW., jihad ini (jihad al-nafs) merupakan jihad terbesar dibandingkan dengan jihad mengangkat senjata—perang.
Jihad sebagai mana yang tekankan oleh el-fadl--seorang pemikir muslim modern—dalam bukunya (the Great Theft; from the extremists wrestling Islam), bahwa esensi dari Jihad itu lebih merupakan sebuah usaha (ethos) dan kerja keras untuk menggapai sebuah hasil yang lebih bermaslahat (baik, dan berguna bagi diri dan sesama).
Karena itulah dengan puasa, umat islam di harapkan lebih mampu menjaga dan mengintesifkan hubungan verticalnya secara pribadi dengan Sang Pencipta—Allah (hablum mina-alloh), tetapi juga tidak boleh mengabaikan hubungan horizontalnya dengan sesama (hablum mina-al-nas), khususnya kaum miskin and kelompok-kelompok marginal lainnya.
Ethos pembangunan manusia seutuhnya
Dengan sepirit bulan Ramadhan inilah, kiranya umat manusia—umat muslim pada khususnya—mampu menumbuhkembangkan serta mewujudkan sebuah kesadaran dan kerja keras untuk mewujudkan impian membangun manusia—Indonesia—seutuhnya. Pembangunan yang tidak hanya sekedar secara fisik, akan tetapi juga secara mental dan spiritual.
Sebagaimana yang ditekankan oleh DR. Mina M. Ramirez (the President of Asian Social Institute—Philippines), bahwa seiring perkembangan peradaban manusia, berkembang dan menjamurlah budaya materialisme dan positivisme di masyarakat era modern ini, yang telah mempengaruhi pola pikir manusia sehingga berkesan bahwa menjadi manusia seutuhny adalah manusia yang penuh dengan kemewahan (Materially) dan budaya ke-barat-barat-an (Westernized).
Sehingga manusia menjadi lupa dari mana ia hidup dan akan kemana ia setelah hidup. Kelalaian inilah yang kemudian menjadikan realitas yang ada menjadi sebaliknya. Di mana manusia yang pada hakekatnya “lebih dan berlimpah” secara material, justru mereka mengalami kekeringan spiritual. Kekeringan ini kemudian mengakibatkan pada sebuah kekosongan batin yang kemudian menjadikan manusia mejadi semakin resah, takut dan cemas akan diri dan lingkunganya (Anthony Gidden: the risk of society).
Karena itulah, menurut Ramirez, dimensi spiritualis dalam hidup adalah sebuah pondasi yang harus diperkuat untuk membangun sebuah manusia atau masyarakat yang transformative, masyarakat yang Total Human development. Masyakarat yang manusianya secara praxis mampu menyadari akan keberadaan diri, lingkungan dan Tuhan-nya. Makhluk yang mempunyai kesadaran diri sebagai khalifah dari sang Pencipta guna menjaga dan mengelola kehidupan di muka bumi.
Pada sisi lain, dengan mengasah dan meningkatkan spiritualitas, manusia juga akan mampu mencapai sebuah kesadaran bahwa segala sesuatu di dunia ini adalah yang berkaitan dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Sebagai mana filosofi hidupnya the Founder of Asian Social Institute, Philippines—Fr. Franncis senden “the whole and the Part”. Ia menekankan bahwa kehidupan di dunia ini ibarat tubuh kita. Satu bagian dari tubuh adalah satu kesatuan yang berkaitan dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Misalnya; ketika satu bagian anggota badan kita sakit/luka, maka secara otomatis bagian tubuh yang lain pun akan merasakan yang sama. Kita akan mengeluhkan rasa sakit itu melalui mulut kita—seolah mulut yang sakit, kemudian perut kita juga akan merasa tidak lapar karena memikirkan bagian tubuh lain yang sakit tersebut.
Akhirnya, dengan kesadaran seperti itulah, manusia di harapkan mampu menjadi sebuah agen tranformasi praxis dalam kehidupan sehari-harinya.
Dan moment ramadhan ini adalah sebuah moment yang tepat untuk merenung, koreksi diri, komunikasi dan meminta petunjuk kepada Sang Pencipta, berbudi dan berbuat baik pada diri, sesama dan lingkungan. Yang akhirnya diharapkan apa yang telah menjadi amanah founding-fathers kita yang tercantum dalam dasar negara kita—Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia—akan terwujud. Amin. Wallahu a’lamu bi al-shawab.
Penulisa adalah Candidate Master of Science in Sociology in Asian Social Institute-Philippines.
Address: 1518 Leon Guinto st. Malate, Manila 1004, Philippines. CP: (+639176406715) email: n_hafid@yahoo.com
Bank Account: 6090108121
a.n. Nur Kafid (BCA KCP Golden Point Center)
Sebagai bulan yang penuh dengan berkah, rahmat dan ampunan-Nya, maka umat Islam mengisinya dengan berbagai aktifitas kebaikan yang dianjurkan oleh ajaran Islam. Seperti, berpuasa, sholat, berzikir, berdoa memohon ampunan-Nya, membaca kitab suci al-Qur’an, juga berbagai kegiatan amal kebaikan lain yang diyakini akan mendatangkan kebaikan dan pahala. Dalam bulan ini, siapapun yang berbuat kebaikan, maka pahalanya akan dilipatgandakan dari pada perubatan baik pada bulan-bulan yang lainnya. Sehingga bulan ini adalah bulan di mana manusia harus benar-benar menjaga dan memupuk relationship-nya dengan Sang Pencipta—Allah—,sesama dan juga dengan alam sekitarnya.
Salah satu aktifitas dalam bulan ramadhan adalah Puasa. Secara harfiah, puasa bermakna menahan lapar dan dahaga dari waktu sebelum matahari terbit (imsak) sampai dengan waktu setelah matahari terbenam(ifthar). Akan tetapi secara maknawi, puasa mempunya arti lebih mendalam dari pada itu. Puasa berarti merupakan sebuah usaha pendisiplinan dan pengontrolan diri untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang merugikan diri dan sesama makhluk lainnya di muka bumi. Sehingga kemudian puasa juga disebut sebagai jihad al-nafs. Dan sebagaimana menurut Nabi Muhammad SAW., jihad ini (jihad al-nafs) merupakan jihad terbesar dibandingkan dengan jihad mengangkat senjata—perang.
Jihad sebagai mana yang tekankan oleh el-fadl--seorang pemikir muslim modern—dalam bukunya (the Great Theft; from the extremists wrestling Islam), bahwa esensi dari Jihad itu lebih merupakan sebuah usaha (ethos) dan kerja keras untuk menggapai sebuah hasil yang lebih bermaslahat (baik, dan berguna bagi diri dan sesama).
Karena itulah dengan puasa, umat islam di harapkan lebih mampu menjaga dan mengintesifkan hubungan verticalnya secara pribadi dengan Sang Pencipta—Allah (hablum mina-alloh), tetapi juga tidak boleh mengabaikan hubungan horizontalnya dengan sesama (hablum mina-al-nas), khususnya kaum miskin and kelompok-kelompok marginal lainnya.
Ethos pembangunan manusia seutuhnya
Dengan sepirit bulan Ramadhan inilah, kiranya umat manusia—umat muslim pada khususnya—mampu menumbuhkembangkan serta mewujudkan sebuah kesadaran dan kerja keras untuk mewujudkan impian membangun manusia—Indonesia—seutuhnya. Pembangunan yang tidak hanya sekedar secara fisik, akan tetapi juga secara mental dan spiritual.
Sebagaimana yang ditekankan oleh DR. Mina M. Ramirez (the President of Asian Social Institute—Philippines), bahwa seiring perkembangan peradaban manusia, berkembang dan menjamurlah budaya materialisme dan positivisme di masyarakat era modern ini, yang telah mempengaruhi pola pikir manusia sehingga berkesan bahwa menjadi manusia seutuhny adalah manusia yang penuh dengan kemewahan (Materially) dan budaya ke-barat-barat-an (Westernized).
Sehingga manusia menjadi lupa dari mana ia hidup dan akan kemana ia setelah hidup. Kelalaian inilah yang kemudian menjadikan realitas yang ada menjadi sebaliknya. Di mana manusia yang pada hakekatnya “lebih dan berlimpah” secara material, justru mereka mengalami kekeringan spiritual. Kekeringan ini kemudian mengakibatkan pada sebuah kekosongan batin yang kemudian menjadikan manusia mejadi semakin resah, takut dan cemas akan diri dan lingkunganya (Anthony Gidden: the risk of society).
Karena itulah, menurut Ramirez, dimensi spiritualis dalam hidup adalah sebuah pondasi yang harus diperkuat untuk membangun sebuah manusia atau masyarakat yang transformative, masyarakat yang Total Human development. Masyakarat yang manusianya secara praxis mampu menyadari akan keberadaan diri, lingkungan dan Tuhan-nya. Makhluk yang mempunyai kesadaran diri sebagai khalifah dari sang Pencipta guna menjaga dan mengelola kehidupan di muka bumi.
Pada sisi lain, dengan mengasah dan meningkatkan spiritualitas, manusia juga akan mampu mencapai sebuah kesadaran bahwa segala sesuatu di dunia ini adalah yang berkaitan dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Sebagai mana filosofi hidupnya the Founder of Asian Social Institute, Philippines—Fr. Franncis senden “the whole and the Part”. Ia menekankan bahwa kehidupan di dunia ini ibarat tubuh kita. Satu bagian dari tubuh adalah satu kesatuan yang berkaitan dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Misalnya; ketika satu bagian anggota badan kita sakit/luka, maka secara otomatis bagian tubuh yang lain pun akan merasakan yang sama. Kita akan mengeluhkan rasa sakit itu melalui mulut kita—seolah mulut yang sakit, kemudian perut kita juga akan merasa tidak lapar karena memikirkan bagian tubuh lain yang sakit tersebut.
Akhirnya, dengan kesadaran seperti itulah, manusia di harapkan mampu menjadi sebuah agen tranformasi praxis dalam kehidupan sehari-harinya.
Dan moment ramadhan ini adalah sebuah moment yang tepat untuk merenung, koreksi diri, komunikasi dan meminta petunjuk kepada Sang Pencipta, berbudi dan berbuat baik pada diri, sesama dan lingkungan. Yang akhirnya diharapkan apa yang telah menjadi amanah founding-fathers kita yang tercantum dalam dasar negara kita—Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia—akan terwujud. Amin. Wallahu a’lamu bi al-shawab.
Penulisa adalah Candidate Master of Science in Sociology in Asian Social Institute-Philippines.
Address: 1518 Leon Guinto st. Malate, Manila 1004, Philippines. CP: (+639176406715) email: n_hafid@yahoo.com
Bank Account: 6090108121
a.n. Nur Kafid (BCA KCP Golden Point Center)
Comments